Selayaknya seorang pelari yang baru saja memenangkan medali emas di ajang olimpiade, maka ia akan berlari satu putaran lagi (berlari, bukan berjalan terseok-seok) sambil mengibarkan bendera negaranya dengan penuh kebanggaan. Letih itu tak terasa lagi, semangat kemenangan yang memberinya kekuatan baru untuk menempuh putaran penutup dengan lebih indah, yakni penuh senyuman kemenangan. Semangat seperti inilah yang memacu keinginan saya untuk menutup perjalanan menyusui ini dengan penuh cinta kasih.
Artikel ini lebih bersifat membagikan pengalaman saja. Dan saya berharap, pengalaman ini dapat bermanfaat bagi Anda sekalian.
SAAT MASA MENYUSUI HARUS BERAKHIR
Saat si kecil beranjak menjadi kanak-kanak, tentunya kita mulai terfikir waktunya sudah tepat untuk menyapihnya. Anjuran dari WHO dan IDAI adalah menyusui hingga 2 tahun, dan saat itu sudah tiba bagi saya dan Lentera kecil saya yang baru saja menginjak usia 24 bulan. Meski sesungguhnya menyusui dapat dilanjutkan selama ibu dan bayi sama-sama berkeinginan, namun tentunya kita tidak mungkin menyusui bayi/anak kita hingga dia dewasa bukan? Pasti ada masanya untuk disapih, dan Anda lah yang menetapkan kapan masa itu (kecuali jika bayi/anak Anda yang memutuskan untuk menyapih dirinya sendiri).
Saya sering mengikuti sharing para ibu yang telah/tengah mengalami masa ini. Tulisan-tulisan tersebut sempat mengguncang emosi saya. Bahkan, beberapa di antaranya membuat saya meneteskan airmata. Ya, dalam kehidupan… hampir bagi setiap orang di muka bumi ini, momen perpisahan memang merupakan momen yang paling berat.
Orang tua bilang, jangan dibikin repot. Olesi saja puting susu dengan brotowali yang pahit, atau coreti payudara dengan spidol sehingga menjadi aneh dan membuat anak menjadi tidak nyaman, atau olesi puting susu dengan cairan berasa aneh seperti pedas atau asam, yang dapat membuat anak tidak suka untuk menghisapnya, atau titipkan anak di nenek/kakeknya selama beberapa waktu, nanti anaknya pasti menolak sendiri. Atau cara yang paling ampuh: HAMIL KEMBALI! Karena dengan kehamilan, maka rasa ASI akan berubah menjadi tidak nikmat lagi, sehingga akan lebih cepat membuat anak berhenti menyusu.
Tapi maaf, itu bukan cara saya. Saya tidak mau keintiman saya dengan Lentera kecil berakhir dengan cara seperti itu (kecuali jika saya diijinkan untuk hamil kembali.. itu lain cerita). Saya tidak mau acara menyapih kami menjadi penuh air mata, penuh tangisan, penuh teriakan, penuh amarah serta diselimuti aksi tipu-tipu. Baik pada diri saya, maupun pada dirinya, Lentera kecil-saya itu.
PERTAMA, SAYA UBAH PARADIGMA..
Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk menyapih, jauh-jauh hari saya sudah menyiapkan mental saya. Dalam arti, saya mulai belajar untuk mengubah pandangan saya.. bagi saya, menyapih berarti melepaskan masa menyusui namun saya tidak mau untuk memandangnya sebagai masa ‘perpisahan’ bonding saya dengan Lentera kecil-saya. Saya lalu mulai belajar untuk menganggap bahwa
“masa menyusui itu adalah masa terbaik untuk dikenangkan, namun bukan untuk dikangenin”
Bagi saya kedua terminologi ini benar-benar berbeda. “dikenangkan”, berarti saya senang akan hal tersebut tapi meskipun dimungkinkan, saya tidak akan kembali ke sana. Sedangkan “dikangenin”, artinya saya senang namun terlebih lagi.. jika diizinkan untuk menarik mundur waktu, maka tentu saja akan saya lakukan agar saya bisa kembali ke masa itu. Perubahan persepsi ini benar-benar membantu saya menikmati masa menyapih dengan kasih.
Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak telah memiliki memori yang kuat dan yang saya inginkan adalah menutup petualangan menyusui ini dengan momen indah yang layak untuk dikenangkan baginya juga. Karena bagi saya, sesungguhnya menyapih bukanlah melepas bonding, melainkan justru mempererat bonding dengan cara yang berbeda.
KEMUDIAN, MENGUBAH KEBIASAAN..
Anda percaya bahwa bonding yang terjalin antara ibu dan bayi membuat bayi bisa ‘membaca’ fikiran si Ibu? Saya percaya. Sehingga saya mulai berhenti ‘mengundang’ (meskipun hanya di dalam hati) Lentera kecil-saya untuk menyusu. Ini saya mulai setelah Lentera kecil-saya berusia 18 bulan. Saya berhenti untuk mengajak dia ‘mimik’, meski kadang memang sudah waktunya. Namun, biasanya Lentera kecil yang ingat sendiri saat tiba waktu dia ingin menyusu. Saya tidak ‘mengundang’ dia, namun juga tidak menolak jika dia meminta. Jadi, saya biarkan dia yang menentukan sendiri. Jika memang ingin menyusu, maka dia akan meminta demikian pula sebaliknya.
Hal kedua yang saya ubah adalah tempat dimana Lentera kecil boleh menyusu. Dulu, dia bisa menyusu dimana saja, di dalam kamar, di ruang tamu, di meja makan, di dalam mobil, di tempat umum, bahkan saat sedang mandi bersama sekalipun! Sekarang, saya tetapkan menyusu hanya boleh di dalam kamar. Setiap kali Lentera minta menyusu, meski saya sedang asyik mengerjakan sesuatu di luar kamar.. maka saya mesti konsisten dengan ‘peraturan permainan’ yang saya tetapkan sendiri, yakni menggandeng tangannya dan berjalan beriringan menuju ke dalam kamar.
Semua adalah peraturan permainan yang telah saya tetapkan sendiri. Jika ingin bermain, bermainlah secara fair! Meski saya yang menciptakan, peraturan tetap peraturan, maka saya pun wajib mematuhinya. Karena disiplin yang diterapkan pada anak berawal dari orang tua. Jika kita tidak konsisten pada peraturan (bahkan yang kita tetakan sendiri) maka anak tidak akan belajar untuk mengikuti aturan sejak dini. So, saya tidak punya pilihan…. selain bermain secara fair!
Sejujurnya, hal ini sempat menjadi momok juga buat saya, karena sejak itu saya tidak bisa lagi bersantai-santai di dalam kamar. Dengan otak cerdiknya, Lentera kecil-saya mulai berfikir bahwa kamar adalah tempat khusus untuk menyusu. Jadi, kalau kami berdua sedang berada di dalam kamar, artinya itu waktunya dia untuk menyusu! Wah, repot juga yah! Tapi sama seperti menjalani masa menyusui, menyapih juga membutuhkan komitmen.
SELANJUTNYA, SIAPKAN TUBUH..
Tubuh saya adalah bagian selanjutnya yang saya benahi. Sebelum betul-betul menyapih, hal yang pertama saya lakukan adalah mengurangi frekuensi memerah saat terpisah dari bayi. Setelah usia Lentera kecil-saya 20 bulan, Saya mulai mengurangi frekuensi memerah. Sejak menginjak tahun ke-duanya, kebutuhan nutrisi Lentera kecil-saya lebih difokuskan berasal dari makanan, sehingga jatah ASI perah yang diminum pun berkurang. Jika dulu dia minum sebanyak 500cc selama terpisah dari saya, pada masa ini dia hanya minum 200-300cc ASI perah. Namun, saat bertemu dengan saya, dia masih bisa mereguk ASI semaunya.
Ternyata, mengurangi frekuensi yang saya lakukan terbilang cukup drastis. Sebelumnya, saya memerah tiap hari (tentu saja, karena saya terpisah darinya setiap hari dari Senin hingga Jum’at).. akhirnya saya putuskan hanya akan memerah pada hari Senin, Rabu dan Jum’at dengan dua kali perah setiap harinya. Alhasil, saya terserang payudara bengkak! Semoga Anda tidak mengulangi kebodohan saya ini, mungkin lebih baik kalau mengurangi frekuensi memerah dari dua kali menjadi hanya sekali dulu, baru dilanjutkan dengan mengeliminir jumlah harinya.
Namun, terserang payudara bengkak ini justru baik buat saya (tapi belum tentu baik buat Anda, loh!) karena kalau tidak begitu, mungkin saya tidak akan memijat payudara saya. Hal ini cukup penting untuk mengeluarkan ASI yang berlebih (over-supply).
Ada yang bilang, kalau produksi ASI menjelang masa menyapih tersebut sudah sedikit serta tidak mengakibatkan payudara bengkak, maka tidak perlu memijat. Menurut saya, memijat itu tetap perlu tanpa memperhatikan ASI Anda banyak atau sedikit. Karena pemijatan pada payudara dapat membantu melancarkan aliran darah dan tentu saja termasuk aliran ASI, sehingga pada saatnya ASI berhenti diproduksi, payudara tidak dengan kondisi memiliki aliran yang tersumbat yang mungkin dapat bermasalah di kemudian hari.
SIAPKAN SI KECIL, SEBAB DIALAH AKTOR UTAMANYA!
Sebenarnya, saat Lentera kecil-saya belum genap 24 bulan. Saya mulai sering berbicara tentang kebahagiaan saya mengingat dirinya sudah bertumbuh besar dan pintar. Saya sering memuji dia. Saya sempatkan untuk lebih banyak meluangkan waktu bersama dia. Jalan pagi bersama, ketawa-ketawa bersama, baca buku bersama, mandi bersama serta beragam kegiatan lain.
Setelah Lentera kecil meniup lilin ulang tahunnya yang kedua, saya semakin sering menyinggung-nyinggung bahwa seorang kakak minumnya air putih, sama seperti mama, papa, juga mbak (pengasuhnya, red.). Tentunya dengan cara-cara yang konyol, misalnya :
Lentera kecil (L) : “ma, imik maaaa…”
Saya (S) : “haaaa? iiii-mik?” (memasang tampang kaget dan ekspresi konyol……)
L : “hahahahahaha…” (tertawa terbahak-bahak)
S : (ikut tertawa, bahkan lebih keras dari tawanya)
L : “imik, maaa….” (senyuman masih tersungging di bibirnya)
Saya tahu, jika sudah begini… bukan lagi menyusu yang diinginkannya tapi ekspresi konyol saya.
S : “aduh.. aduh…. iiiiiiiiiii-miiiiiiiiiiiik?????” (berpolah lebih konyol lagi dari sebelumnya) “anak cantik yang sudah besar, minumnya air putih…. okeiiii??? sama kayak mama, nih! air putih… woooow, enaaaakkk!!” (sembari menuangkan air putih ke dalam dua gelas).
S : (berjongkok di hadapannya, menegak air dalam gelas sambil membuat bunyi tegukan yang keras lalu mendesah seolah-olah air putih itu nikmat sekali rasanya, kemudian menyodorkan gelas satu lagi kepadanya) “Lentera mau?”
L : “mau!” (menyambut gelas yang saya sodorkan dan langsung mereguknya dengan rakus, kelihatannya dia memang haus sekali)
Biasanya, kalau sedang sangat ingin menyusu.. cara ini tidak mempan. Itu artinya, Lentera kecil memang betul-betul sedang ingin menyusu. Namun, beberapa kali trik ini saya praktekkan cukup ampuh untuk mengalihkan perhatiannya. Biasanya dengan pilihan kata yang berbeda, serta ekspresi kekonyolan yang berbeda pula. Misal, saat merespon permintaannya untuk pertama kali, saya bahkan berpura-pura kaget sampai melompat mundur dengan lompatan gaya kera yang ekornya terjepit (Anda bisa membayangkannya? Saya tidak, tapi saya bisa mempraktekkannya) Tak ayal, hal ini bisa membuat Lentera kecil terpingkal-pingkal dan kemudian melupakan sesi menyusu. Bahkan ada kalanya kata-katanya yang seperti meminta menyusu itu seperti magic word untuk ‘ngerjain saya’, karena dia menolak saat saya sodorkan air putih namun tidak pula melanjutkan memaksa untuk tetap menyusu.
LALU, SAAT LILIN BERANGKA DUA TELAH DITIUP..
Saatnya permainan dimulai. Saat Lentera kecil minta menyusu di siang hari, saya ingatkan bahwa dia sudah besar.. bahkan lilin berangka dua itu pun sudah ditiup. Biasanya, Lentera akan berhenti merengek sejenak, seperti berusaha mengingat kejadian itu mungkin? Saya lalu berkata, ”Lentera…. lupa ya?” Biasanya, dengan latah dia akan mengulang kata-kata saya sembari menganggukkan kepala, “lupa!”. Kemudian saya sodorkan segelas air putih, “kalau sudah tiup lilin angka dua, berarti sekarang kalau haus, minumnya air putih, okei?” Biasanya, dengan latah juga dia mengulangi kata terakhir yang baru saja saya ucapkan, ”okei!”.
Malam hari, adalah masa paling berat untuk kami berdua, karena Lentera biasa ‘dininabobokkan’ sambil disusui. Lalu saya coba cara lain yang mungkin bisa mengalihkan perhatiannya, yakni merayunya dengan pijatan. Awalnya, dia menolak. Karena setelah sekian lama tidak memijat tubuhnya, mungkin dia merasa tidak nyaman saat jari-jari saya menggerayangi permukaan tubuhnya. Dulu, waktu masih orok, Lentera setiap hari saya pijat. Lalu berhenti, saat dia mulai aktif dan lebih senang ditidurkan sambil disusui.
Tapi usaha tidak boleh berhenti sampai di sana. Esok harinya, saya coba lagi. Masih menolak. Akhirnya, pada hari ke-5, barulah Lentera kecil setuju dengan pijatan ini. Tapi saya hanya boleh memijatnya di bagian jempol kaki, setelah jempol kaki yang kiri lalu yang kanan kembali lagi ke kiri dan balik ke kanan, begitu seterusnya sampai dia tertidur.
- Tapi tidak langsung nyenyak sih, satu jam kemudian terbangun, lalu guling kiri dan kanan, seperti orang sedang mimpi buruk. Biasanya, saya coba merangkulnya (posisi saya berbaring di sampingnya, kepalanya saya letakkan pada lengan saya dan saya memeluk bagian lehernya dengan posisi tidur Lentera memunggungi tubuh saya, lalu saya tepuk-tepuk ringan pantatnya) sampai dia tenang kembali dan tertidur. Cara lain adalah dengan digendong dan ditimang-timang, posisi gendong kangguru menghadap ke saya, sampai dia terlelap kembali baru bisa saya baringkan pada kasur. –
Lama kelamaan, saya bosan juga dengan hanya memijat jempol kakinya, lalu saya mencoba membalikkan badannya, saya beri pijatan a la tsiatsu (eh, tidak sampai segitunya sih!). Ternyata pijatan punggung lebih asik, Lentera malah lebih cepat jatuh tertidur. Tapi cara-cara seperti ini tidak bisa setiap malam dilakukan, karena Lentera cepat bosan. Besoknya harus cari pijatan gaya baru, atau diganti dengan membaca buku (lebih tepatnya membalik-balik halaman, karena belum selesai satu halaman dibaca, pasti dia sudah minta ganti halaman baru.. jadi saya ikuti saja apa maunya).
Atau saya mencoba cara lain, yakni mengajaknya senam bersama sebelum tidur. Pada akhirnya, Lentera akan tertawa-tawa dan tidak jadi mengantuk. Meski cara ini tidak terlalu efektif untuk meninabobokkannya, tapi cukup membantu membuatnya merasa kelelahan dan lebih mudah tertidur beberapa saat kemudian.
Lalu, saat tengah malam terbangun minta menyusu, pertama saya tawarkan dulu air putih. Jika dia mau meminumnya, tak lupa saya memujinya, “aduh, aduh.. pintarnya anak cantik! Minum sekali lagi, nak.. pintar sekali, anak mama yang cantik ini…. sudah besar yaaaa, minumnya air putih.” Kata-kata pujian seperti itu yang sering saya bisikkan di telinganya setiap kali dia ‘setuju’ untuk minum air putih saja. Setelah itu, saat dia akan tertidur kembali.. saya kecup keningnya sambil berkata, “I love you, baby.” Tak lama mulai terdengar desahan berat nafasnya, pertanda Lentera kecil-saya itu sudah terlelap kembali.
OHYA SATU LAGI, JANGAN LUPAKAN SI PAPA!
Peran si Papa ternyata cukup efektif untuk melancarkan misi penyapihan ini. Saat malam tiba, Lentera beberapa kali terbangun untuk minta menyusu. Padahal saya sekali dua kali menghisap, lalu ia terbuai kembali. Begitu terus, hingga beberapa kali sampai ayam tetangga protes (maksudnya, karna hari sudah pagi..). Jadi, si Papa kemudian akan ikut terbangun dan menyodorkan segelas air, bisa dengan menggunakan sedotan, atau langsung dari cangkir. Dengan wajah teler, bahkan matanya pun tetap terpejam, Lentera menyeruput air putih dari cangkir yang disodorkan si Papa.
Biasanya Lentera lebih menerima jika orang lain (bukan maksudnya si Papa adalah orang lain, loh.. tapi, orang selain ibunya.. nah, pilihan kata ini lebih tepat sepertinya) yang menawarkannya air putih. Karena kalau saya yang menawarkan, biasanya Lentera lebih sering mengamuk dan menangis kencang dan kemudian saya menjadi tidak punya pilihan selain menyusuinya. Khususnya saat awal-awal masa menyapih berlangsung.
NAH, SEBAGAI PENUTUP..
Inti dari obrolan panjang lebar ini sebenarnya adalah, dan saya fikir ini bisa juga berlaku untuk banyak hal lain, jika Anda ingin agar anak Anda ‘berhenti’ melakukan sesuatu (bahkan yang sudah menjadi kebiasaan sekalipun), maka berikan gantinya. Jika kita hanya berkata ’itu tidak boleh’ tapi tidak memberikan solusi apa-apa, maka anak tidak akan mengerti bagaimana dia harus berhenti melakukan hal tersebut. Jadi, jika ingin anak berhenti menyusu, cari gantinya (maksud saya, ganti kegiatan menyusu dengan kegiatan lain.. bukan sekedar mengganti ASI dengan susu lain). Semoga cerita ini bermanfaat yah.
Mari kita tutup sesi menyusui dengan penuh kasih.
Salam ASI.