Diterjemahkan oleh Konselor Menyusui AIMI; Sari Intan Kaylaku & Chandra Mita

Benarkah menyusui adalah hal yang paling alami di dunia? Tidak di Indonesia, di mana perusahaan makanan bayi internasional bersaing memasarkan produknya dengan segala cara. Oleh Tobias Zick

Bintik-bintik merah menghiasi dahi Zulfa, lengan kecilnya terkulai lemas, matanya terlihat sangat besar; beratnya hanya 4,5 kg - pada umur 8 bulan. Jelas ini merupakan kasus malnutrisi.

Sesaat setelah lahir, perawat memberi Zulfa susu formula; ibunya diberi satu kaleng susu formula untuk dibawa pulang. Sejak saat itu, dia berjuang mengumpulkan uang untuk membeli susu formula. Suaminya adalah penjahit dan bagian terbesar dari penghasilan mereka dihabiskan untuk membeli susu formula. Kadang mereka mencampurkan lebih banyak air daripada yang diinstruksikan.

Setelah beberapa lama, dia mencoba menyusui Zulfa, tapi tidak ada ASI yang keluar. Sering kali Zulfa sakit diare, muntah, infeksi saluran pernapasan – dan membuat orang tuanya sangat ketakutan. Akhirnya seorang tetangga merekomedasikan agar mereka pergi ke Layanan Kesehatan Cuma-Cuma di Rumah Sakit Islam dan mencari Dr. Asti, seorang ahli dalam hal tersebut.

Dr. Asti Praborini memutuskan untuk merawat sang ibu di rumah sakit selama 3 minggu dan mengatasi bingung puting yang dialami hingga dia bisa meyusui Zulfa. Sejak saat itu, kondisi bayinya sedikit demi sedikit membaik, diare tidak datang lagi, dan berat badannya naik. “Sering kali penyebab malnutrisi tidak bisa diketahui secara pasti”, jelas Dr. Asti, “tetapi kasus ini sangat jelas: Bayi tersebut adalah korban dari menyusu susu botol.”

Menurut UNICEF, setiap tahun 30.000 anak Indonesia meninggal karena tidak diberi ASI eksklusif selama 6 bulan. Sekitar 45% keluarga Indonesia tidak memiliki akses ke air bersih. Dan susu formula yang dibuat dengan air yang terkontaminasi dapat menghasilkan campuran mematikan. Daftar resikonya terhadap kesehatan panjang: malnutrisi, diare, infeksi saluran pernapasan, alergi, anemia. Sehingga World Health Organization (WHO) merekomendasikan secara global untuk memberikan ASI eksklusif di 6 bulan pertama dan dilanjutkan hingga usia 2 tahun, denga memperkenalkan makanan padat secara bertahap.

Di Indonesia, sebagaimana banyak negara di dunia, rekomendasi ini hanyalah teori. Hanya 32% bayi di bawah usia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif – yang angkanya terus menurun. Antara tahun 2002-2007, menurut UNICEF, persentasi bayi umur 2 bulan yang diberi ASI eksklusif menurun drastis, dari 64% menjadi 48,3%. Di saat yang sama, jumlah yang diberi susu formula meningkat. Mengapa demikian? Menurut UNICEF, tantangan memberikan ASI termasuk “Yang tak kalah pentingnya adalah pemasaran secara agresif oleh perusahaan makanan bayi yang tidak hanya mempengaruhi para ibu, namun juga tenaga kesehatan profesional”.

Dr. Asti Praborini mengatakan, “Saya melihat kasus seperti Zulfa hampir setiap hari. Dan banyak yang tidak selamat. Dari pengalaman saya, saya bisa mengatakan bahwa menyusu susu botol bisa membunuh.” Selama 30 tahun, dia telah berjuang melawan kurangnya informasi. Dia bekerja di berbagai rumah sakit dan hampir di semua tempat, pertama kali dia masuk, hal yang dilihat adalah selasar dan bangsal penuh dengan iklan. Bayi baru lahir dirawat di “ruang bayi” dan diberi susu formula dari perusahaan yang “bekerja sama” dengan rumah sakit tersebut, misalnya dengan memberi dana kepada bidan dan dokter.

Berulang kali Dr. Asti Praborini melihat pasien yang mengatakan hal seperti ini, “Tapi iklan di TV mengatakan akan membuat bayi saya sehat, kenyang, dan pintar.” Atau, “Bidan bilang air susu saya tidak akan cukup untuk bayi saya.”

Dia mengambil tas kecil, mengeluarkan kelereng kecil, sarana ilustrasi untuk kasus seperti ini. Memegang kelereng di antara jempol dan telunjuk, dia menjelaskan: Ini adalah besarnya lambung bayi anda begitu lahir – dan mereka mengatakan bahwa ASI anda tidak cukup untuk mengisi ini? Dia mengeluarkan kelereng yang agak lebih besar: ukuran lambung bayi setelah 3 hari. Bola tenis meja: ukuran lambung setelah 1 minggu. “Tentu saja susu formula bisa berguna”, kata Dr. Asti, “dalam hal kelahiran prematur. Tapi tentunya bukan sebagai produk massal.”

Sebuah supermarket Carrefour di Jakarta: Dua rak tinggi terisi warna warni menarik dari berbagai perusahaan makanan bayi internasional; pramuniaga dari produsen Eropa dan Amerika tersenyum lebar: Nestlé, Frisian Flag, Numico, Wyeth, Abbott – semua ada di sana. “Mencukupi gizi bayi anda” tertulis di salah satu kemasan, menunjukkan untuk usia 0 hingga 6 bulan; “Mencukupi gizi bayi Anda”, tertulis di kemasan untuk bayi 6-12 bulan. “Formula Bayi untuk Perkembangan Otak dan Tubuh” janji sebuah produk lain untuk bayi 0 hingga 12 bulan, huruf-huruf “IQ” berkilau di kalengnya. “Gain school advance” adalah pesan mengikuti batasan umur tersebut. Terdapat formula untuk ibu hamil, ibu menyusui – dan bahkan untuk wanita mengenakan kerudung, dengan tambahan vitamin D untuk mengkompensasi kekurangan paparan sinar matahari.

Majalah Indonesia penuh dengan iklan susu formula, berikut di jalan-jalan utama Jakarta, anda melihat papan iklan besar, di bangsal bayi di rumah sakit terpampang logo perusahaan di dinding, kartu pasien, bahkan di kepala tempat tidur bayi.

Tetapi apa yang berlangsung dalam bayang-bayang bahkan lebih efektif. Di sebuah kedai kopi di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, kita bertemu Ibu Magdalena, seorang bidan, yang melihat 20 tahun sejarah pekerjaannya. Dia sudah melihat banyak pantai spektakuler di Asia: Thailand, Bali ... dia juga sudah pernah ke Jepang, walaupun biasanya bidan tidak termasuk golongan berpenghasilan besar di Indonesia. Bagaimana dia bisa begitu?

Dengan mencapai target penjualan yang ditetapkan perusahaan susu formula, dia menjelaskan. Untuk rata-rata 20 paket per bulan, imbalannya adalah sebuah seminar, diikuti 4 hari liburan di pantai. Suatu kali, dia mengingat, 4 pesawat penuh bidan terbang ke Bali, atas undangan Numico. Mereka yang mencapai penjualan luar biasa bisa pergi ke Mekkah, dibayar oleh perusahaan. Kadang kompensasi tidak berbentuk perjalanan, tetapi uang tunai, penyejuk udara atau lemari es, baik untuk tempat kerjanya maupun rumahnya. Selama karirnya, Ibu Magdalena memberikan susu formula kepada ratusan bayi baru lahir. “Kini saya malu atas apa yang saya lakukan”, dia mengatakan. “Tapi saya melakukannya karena kurangnya pengetahuan.”

Dokumen yang diperoleh majalah kami menunjukkan cerita Ibu Magdalena bukan sebuah kasus tunggal. Sejak 2007, Numico telah menjadi bagian dari korporasi global Danone, berpusat di Paris. Permohonan majalah kami untuk sebuah pernyataan diteruskan oleh departemen komunikasi Danone ke Numico di Indonesia, yang juru bicaranya menjawab lewat e-mail, bahwa tidak membantah keberadaan sistem kompensasi penjualan untuk bidan dan merujuk pada keberhasilan program “pendidikan bidan” dari perusahaan, melalui “di 2010 kami akan mengirim 30.000 bidan ke seminar dan lokakarya. (...) Keunggulannya adalah kemampuan ini akan diteruskan dari bidan ke ibu melalui pelayanan dan pedidikan yang lebih baik.” Lebih lanjut, juru bicara tersebut mengatakan, “Di 2010, kami memiliki lebih dari 200 proyek di Indonesia. Kami menelusuri dampak proyek terhadap angka kematian ibu dan bayi.”

Untuk memahami dimensi dari pasar susu bubuk dunia, kita perlu melihat jauh ke belakang – pada tahun 1867, saat Heinrich Nestle, seorang apoteker dari Frankfurt, Jerman, yang saat itu tinggal di Swiss, dari keterbatasan uang dan improvisasi menemukan apa yang ia sebut “Kindermehl” (makanan anak-Red). Sebelum itu, ia telah berusaha menghasilkan uang dengan menjual limun dan gas cair – kedua usaha tersebut gagal. Namun, Kindermehl ternyata menjadi terobosan baginya, walaupun, menurut sejarah perusahaan, ia tetap berperilaku sederhana: “Penemuan saya bukanlah temuan baru tapi merupakan implementasi yang tepat dan rasional dari bahan-bahan yang telah lama diketahui sumber nutrisi yang baik untuk anak: susu, roti dan gula dari kualitas terbaik adalah bahan utamanya.”

Kindermehl mendorong perkembangan perusahaan Nestle dengan sangat cepat hingga menjadi korporat global. “Dalam waktu singkat, ia menunjukkan bakat dalam pemikiran strategi pemasaran”, kata sejarah perusahaan mengenai Heinrich Nestle. “Dalam 7 tahun, ia telah menjual 1,6 juta kaleng Kindermehl di 18 negara di seluruh benua.”

Kritikan atas kesuksesan dan ekspansifnya kebijakan perusahaan pertama kali muncul pada 1975 dalam film pendek ”Bottle Babies” oleh pembuat film dokumenter Peter Krieg. Adegan pertama menunjukkan seorang ibu asal Kenya menggendong bayinya yang sedang menangis ke rumah sakit. Suara dokter menyebutkan gejala-gejalanya: diare, muntah, takikardia (denyut jantung cepat-Red), apnea (nafas berhenti tiba-tiba). Anak tersebut sedang di ambang kematian akibat malnutrisi – setelah sang ibu mengikuti, bukannya menyusui, pesan iklan susu formula yang ada dimana-mana. Film tersebut menunjukkan contoh dari pemasaran secara agresif oleh perusahaan: hadiah sampel didistribusikan di rumah sakit-rumah sakit, hadiah promosional untuk dokter dan bidan, siaran radio dengan slogan: “Susu bubuk milik kaum kulit putih yang membuat bayi Anda tumbuh cerdas dan cemerlang”.

NGO dari Swiss "Aktionsgruppe Dritte Welt" menerbitkan sebuah laporan berjudul: “Nestle membunuh bayi-bayi”. Nestle dengan sukses melakukan perlawanan hukum terhadap publikasi itu, namun dugaan-dugaan terus berlanjut, dan kampanye boikot terhadap Nestle bermunculan di seluruh dunia.

Pada 1981, World Health Assembly mengadopsi Kode Internasional yang dengan tegas mengatur pemasaran dan promosi pengganti Air Susu Ibu: melarang promosi kepada masyarakat umum, melarang promosi melalui fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, dan melarang pelabelan yang menyesatkan.

Namun, saat ini International Baby Food Action Network (IBFAN) secara periodik masih menerbitkan laporan-laporan pelanggaran terhadap Kode WHO. Kritik-kritik menyebutkan analogi dengan industri rokok: membantah hasil penelitian ilmiah, selalu menemukan celah untuk menghindari pembatasan oleh hukum. Pada 1999, direktur eksekutif UNICEF pada saat itu, menyatakan: “Siapapun yang membuat klaim tentang susu formula untuk bayi yang dengan sengaja merusak keyakinan wanita untuk menyusui tidak pantas dianggap sebagai pengusaha cerdas yang hanya sedang melakukan pekerjaannya, namun sebagai pelanggar hak asasi manusia yang paling buruk.”

Nestle, yang seringkali menjadi sorotan kritik IBFAN, secara rutin menerbitkan laporannya sendiri mengenai berbagai dugaan. Pada banyak kasus, perusahaan menegaskan bahwa tuduhan tersebut “tidak beralasan”, seringkali berurusan dengan produk-produk yang “tidak termasuk dalam Kode, seperti makanan pendamping untuk bayi berusia 6 bulan.” Di situsnya, Nestle menyatakan: “Kami mengikuti langkah-langkah pemerintah nasional menerapkan Kode WHO di semua negara di seluruh dunia.”

Saat ini Nestle sudah menjadi salah satu dari banyak perusahaan yang berjuang untuk mendapatkan bagian pemasaran di pasar yang sedang tumbuh di Afrika dan Asia. Numico, contohnya, adalah pemegang pasar terbesar di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Menurut dokumen yang berhasil kami himpun, Numico Indonesia berencana untuk “secara agresif meningkatkan cakupan dan distribusi”. Salah satu target yang telah dicanangkan adalah “memperkuat Tim Medis untuk memperluas cakupan petugas kesehatan dan rumah sakit”. Dalam segmen “premium dan standar”, perusahaan ini akan berfokus pada dokter; sedangkan pada segmen “ekonomi”, bidan menjadi fokusnya.

Berdasarkan analisis pasar mendalam yang terakhir oleh UNICEF pada 2006, semua perusahaan susu formula di pasar Indonesia telah melanggar Kode WHO. Namun, Indonesia hanya satu contoh menonjol dari masalah yang global. Wilayah konflik, khususnya, menjadi arena pemasaran yang disukai oleh perusahaan barat – karena pada wilayah-wilayah tersebut, dalam hal hukum dan pengendalian, kekacauan secara luas masih terjadi. Di Afghanistan, sebuah perusahaan Eropa dapat mengiklankan susu bubuknya di televisi dengan “bermutu tinggi untuk bayi Anda sejak lahir.” Seorang aktor terkenal muncul di acara TV sebagai duta dari pesan tersebut. Afghanistan merupakan salah satu negara dengan angka kematian bayi tertinggi di dunia, yaitu 151 bayi dari setiap 1000 kelahiran.

Saat Diba Jafar (30), seorang ibu dari Jakarta, sedang hamil, ia mengedukasi dirinya sendiri mengenai nutrisi bayi, menyusui dan hal-hal terkait melalui internet. Ia menemukan rekomendasi dan tatalaksana yang dikeluarkan oleh WHO dan UNICEF tentang menyusui eksklusif. Namun, kemanapun dia pergi di Jakarta, dia menemukan yang sebaliknya.

Di rumah sakit dimana ia melahirkan putranya, Rafa, semua bayi baru lahir segera dibawa ke ”kamar bayi”oleh perawat, dua lantai di bawah kamar ibu, dimana perawat kemudian memberi bayi-bayi susu formula dengan menggunakan botol. Diba berkeras ingin menyusui bayinya, bahkan melewatkan beberapa malam duduk di sebuah kursi plastik kecil di dalam kamar bayi dan menempelkan kertas bertuliskan ”ASI Eksklusif!” di tempat tidur Rafa.

Beberapa bulan kemudian, Diba duduk bersama dengan beberapa ibu muda lain. Mereka menemukan bahwa mereka semua menghadapi masalah yang sama: nyaris tidak ada informasi dari petugas di rumah sakit mengenai menyusui, dan harus berjuang terus menerus melawan perawat dan bidan yang menjaga bayi mereka di kamar bayi, yang hanya mengizinkan mereka untuk menyusui pada jadwal tertentu.

Diba dan teman-temannya mendirikan sebuah jaringan, AIMI, untuk membantu menyediakan informasi bagi para ibu. Dalam beberapa minggu pertama, mereka menerima ratusan telepon dan email dari para ibu yang membutuhkan saran...sehingga mereka sadar bahwa jelas sekali ada yang salah di negara ini. Mereka memperluas organisasinya, dan saat ini mereka tidak hanya mengadakan pelatihan dan menyediakan informasi mengenai menyusui, namun juga memberikan advis hukum, memantau Kode, melobi dukungan untuk menyusui dan membuat draf rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan. ”Jika para ibu tahu hak mereka,”, kata Diba, ”mereka bisa bersikeras untuk mendapatkannya. Masalahnya adalah, banyak yang belum tahu haknya.”

Kesuksesan AIMI menimbulkan harapan – tapi apakah akan cukup untuk mengubah berbagai hal secara prinsip di negara yang besar seperti Indonesia?

Untuk mengubah keadaan, seringkali perlu pukulan keras. Untuk Bidan Budi, pukulan keras itu terjadi pada bulan Mei 2006. Terjadi gempa di kota tempat tinggalnya, Klaten, Jawa Tengah; dekat letusan gunung berapi Merapi; enam ribu orang meninggal, dan empat puluh ribu orang terluka. Salah satu bantuan yang datang dari segala penjuru dunia adalah berton-ton susu bubuk, yang didistribusikan secara tidak terkoordinasi. Bahkan ibu yang tadinya menyusui mulai memberi bayinya susu formula. Dalam waktu singkat sejumlah besar bayi menderita diare berat – karena bencana, air disana telah sangat tercemar.

UNICEF menggelar program pelatihan untuk bidan mengenai manfaat dan teknik menyusui eksklusif. Mulanya Bidan Budi curiga: caranya bekerja selama dua puluh tahun tiba-tiba dinyatakan salah? Lalu datanglah saat itu, apa yang ia sebut sebagai ”momen pencerahan”. Ia melihat seorang bayi yang baru lahir, berbaring di atas dada ibunya dan kurang dari setengah jam setelah lahir bayi itu mulai merangkak menuju payudara dan mulai menghisap, persis seperti telah diprediksikan pada bagian teori di seminar tersebut. ”Itu seperti pertanda dari Tuhan”, katanya, ”saat itu saya sadar: selama dua puluh tahun, karena ketidakpedulian, saya telah mempertaruhkan kesehatan anak-anak.”

Pemerintah Klaten telah menerapkan peraturan regional dimana siapa saja yang menghambat dan membatasi seorang ibu untuk mendapatkan hak dasarnya untuk menyusui dapat dituntut karena melakukan perbuatan kriminal.

Rony Rukmito, Kepala Dinas Kesehatan Klaten, menceritakan bahwa tidak lama setelah penerapan peraturan baru tersebut, dua wakil dari perusahaan susu formula bayi datang padanya dan bertanya berapa jumlah uang yang ia inginkan agar ia mau mencabut peraturan itu. ”Saya katakan pada mereka”, ingatnya, ”kami harus memulai kampanye yang sukses demi kesehatan anak-anak kami, tolong jangan rusak itu.” Perundang-undangan regional Klaten dapat menjadi contoh bagi perundang-undangan nasional di masa depan. Pemerintah Indonesia telah mengadakan sidang bersama sebuah panel berisi para ahli untuk menyusun draf perundang-undangan yang lebih ramah pada kegiatan menyusui. Diba Jafar dan rekan-rekannya di AIMI menjadi bagian dari panel tersebut. Sementara itu, UNICEF melakukan pengkajian yang membantah argumen para pelobi bahwa industri makanan bayi menciptakan lapangan pekerjaan yang besar: Menurut temuan-temuan pertama dari analisis UNICEF, manfaat yang didapat oleh tenaga kerja Indonesia adalah minimal, karena susu bubuk diimpor dari luar negeri dan dikemas secara otomatis di Indonesia.

Saat ini, sinar harapan meningkat: Menteri Kesehatan telah mengumumkan bahwa masalah gizi bayi adalah satu dari dua prioritas utama – bersama industri tembakau.

Namun, Kementerian Kesehatan seperti biasa harus berjuang dengan persaingan kepentingan, bahkan dengan kabinetnya sendiri. Baru-baru ini, misalnya, Nestle mengumumkan bahwa mereka sedang melipatgandakan kapasitas pengolahan susu mereka di Indonesia dan telah meresmikan pabrik barunya di Jakarta. Berdiri di baris paling depan pada acara pengguntingan pita: Menteri Ekonomi.


Terdapat pada kategori Informasi pada 02 Nov 2010

Informasi Lainnya

Yuk, Berpartisipasi Dukung AIMI

AIMI 15th SEHATI Virtual Run & Ride

MengASIhi x COVID-19