Seperti diceritakan oleh Asakalf kepada AIMI pada 21 Oktober 2020.

Saya seorang new mom, anak saya laki-laki berumur 4 bulan, sehat, aktif, dan ceria. Si kecil adalah bayi ASI, Alhamdulillah masih ASI eksklusif sampai saat ini. Saya tinggal bersama suami (ayah), anak (adek), dan ibu saya (mbauti).

Ahad sore, satu hari setelah adek imunisasi, ayah merasakan tanda-tanda flu. Saat itu keluarga kami masih baik-baik saja, dalam arti masih bahagia dan sehat seperti biasa meski adek sempat sumeng pascaimunisasi. Kami masih bercengkerama hangat bersama di tengah kontrakan sederhana di daerah Pancoran, Jakarta Selatan.

Hari Senin tiba, ayah yang masih dirumahkan jatuh sakit karena flu. Ayah mengeluhkan pilek, meriang, dan sedikit pusing. Kebetulan di hari itu, jadwal saya untuk WFO. Sebelum berangkat bekerja, saya tinggalkan vitamin untuk ayah dan berpesan agar minum yang banyak supaya lekas sembuh dari flu.

Di hari Selasa, jadwal saya WFH. Saya masih sehat. suami sudah tidak meriang, tapi masih flu. Selasa malam ditengah kegiatan menyusui si kecil, tiba-tiba saya merasakan rasa tidak nyaman di tenggorokan. Beberapa kali saya berdeham dan terbatuk-batuk. Pikir saya, gejala radang tenggorokan. Saya mulai minum air putih hangat untuk meredakan rasa tidak nyaman itu.

Rabu pagi saya bangun dengan kondisi badan pegal semua dan sakit kepala. Rasanya seluruh sendi di tubuh saya sakit, persis seperti waktu saya gejala tipus. Sempat terpikir, apakah saya tipus?

Di Rabu pagi itu suami mengganti popok karena adek buang air besar, dan saya nyeletuk, bau banget buang air besarnya adek. suami bilang, ngga bau kok. Saya kira suami becanda, karena biasanya kami berdua tertawa-tawa saja ketika mendapati buang air besar bayi yang baunya minta ampun. Karena kami saling ngeyel terkait bau tidaknya buang air besar adek, saya kasih suami parfum. Subhanallah, suami saya bilang gak bau sama sekali. Langsung saya minta merasakan gula dan kopi, karena mengingat salah satu gejala positif COVID-19 adalah hilangnya indra perasa dan penciuman. Tapi Alhamdulillah suami masih bisa merasakan manisnya gula.

Meskipun indra perasa suami tidak bermasalah, saya kepikiran terus perihal sakitnya kami. Flu, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sakit kepala adalah ciri-ciri positif COVID-19 yang saya dapat dari beberapa artikel di internet. Perasaan saya tidak enak, dan akhirnya sekitar pukul 10.00 meminta suami pergi ke klinik terdekat untuk menjalani rapid test. Selama menunggu hasil tes, saya merasa cemas, khawatir, was-was kalau hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Sampai pukul 14.00 suami mengambil hasil rapid test dan dinyatakan non-reaktif. Di situ saya sudah lega, rasa khawatir dan cemas saya hilang meskipun masih merasa janggal kenapa indra penciuman suami menghilang. Akhirnya kami sepakat untuk mengobservasi sampai hari Jumat, apakah indra penciuman suami kembali atau tidak.

Di hari Rabu siang badan saya mulai menggigil, dengan demam paling tinggi suhu 38°C, sakit kepala, dan sakit tenggorokan yang membuat saya malas untuk makan. Sampai disuapi suami agar saya mau makan. Saya hanya bisa berbaring dengan selimut sampai malam, namun tetap mengASIhi si kecil.

Qodarullah adek pada hari Selasa dan Rabu agak rewel, disusui menolak, hanya mau digendong terus, gampang menangis, susah tidur, persis seperti saat adek bingung puting dahulu. Tidak seperti biasanya jarang rewel, bahkan setelah imunisasi sekalipun dengan keadaan sumeng adek tidak rewel.

Hari Kamis keadaan saya membaik dari hari Rabu, namun flu saya semakin terasa, sampai membuat sakit kepala. Akhirnya hari itu saya yang seharusnya WFO izin untuk WFH akibat flu. Sementara badan adek sumeng dan diare, kami pikir karena efek imunisasi belum hilang. Sampai Kamis malam dengan suhu paling tinggi 37,5°C. Sepanjang Kamis malam sampai Jumat subuh adek rewel, tidak mau menyusu. Bangun, nangis, bangun, nangis, begitu terus. Sakit kepala saya juga tak kunjung hilang meski sudah sempat minum obat flu yang dibelikan suami malam sebelumnya, malah semakin menjadi. Kepala saya terasa semakin berdenyut setiap kali adek nangis jejeritan menolak menyusu.

Sepanjang hari Jumat itu badan saya tidak fit, lemas dan letih lesu, tapi sakit kepala mereda setelah bisa tidur bareng adek yang akhirnya tertidur. Mungkin adek juga merasakan badannya tidak enak atau sakit di tubuhnya hanya saja belum bisa mengeluh. Maafkan Mama ya Nak, karena waktu itu tidak tahu bagian tubuh adek mana yang sakit.

Karena indra penciuman belum membaik, akhirnya Jumat sore suami pergi ke dokter THT di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Selatan. Setelah bertemu dokter THT, suami menelepon saya dan bercerita bahwa setelah menyampaikan keluhan indra penciuman yang hilang ke dokter, suami dites untuk membaui alkohol swab namun tidak tercium. Langsunglah suami saya dirujuk ke RS khusus THT untuk menjalani swab test.

Deg.

Ini yang saya takutkan. Ini yang saya khawatirkan. Ini yang membuat saya gelisah dari awal suami mengeluhkan flu.

Sejak awal saya tepis pikiran yg mengarah ke COVID-19. Meskipun tangan saya gatal berselanjar di Google, baca artikel sana-sini tentang Corona Virus Disease, ciri-ciri COVID-19, bahaya COVID-19, dan pengobatan COVID-19. Cukup membuat frustasi karena belum ada obat untuk penyakit penyebab pandemi ini, baik untuk orang dewasa maupun bayi. Ya, karena saya masih punya bayi yang umurnya baru 4 bulan dengan tubuh mungil dan organ tubuh yang masih belum sempurna betul.

Saya berusaha tekankan pada diri sendiri untuk tetap positif thinking, meskipun berdebar-debar karena takut dan khawatir kami sekeluarga terjangkit COVID-19. Walau hati sudah merasa sepertinya memang sudah terjangkit, tetapi saya tetap mencoba menepisnya sambil berdoa kepada Allah semoga ini hanya sakit flu biasa.

Terasa lama sekali menunggu hasil swab test suami yang keluar 1x24jam. Adek masih rewel meskipun tidak serewel sebelumnya, badannya sudah tidak demam tapi masih diare. Mbauti kondisinya paling sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda tertular flu.

Hari Sabtu selepas shalat maghrib, telefon genggam suami berdering. Begitu diangkat, serasa mimpi bagi kami, karena suami dinyatakan positif COVID-19. Saya, kami, mencoba tegar. Suami saya diminta untuk di rumah saja dan menunggu sampai dihubungi oleh Dinas Kesehatan atau Puskesmas setempat.

Saya lihat adek, yang sedang asyik main buku bantalnya dengan posisi tengkurap, dengan penuh kekhawatiran kalau si kecil tertular. Dalam hati, saya yakin sudah tertular karena gejala yang saya rasakan bahkan lebih banyak daripada yang suami rasakan. Tapi saya masih sangat berharap semoga bayi saya dan mbauti tidak terinfeksi.

Malam itu juga, hari Sabtu malam, kami sekeluarga kembali ke RS tempat suami melakukan swab test, sekaligus mengambil obat suami yang sudah diresepkan. Saya, adek, dan mbauti melaksanakan swab test. Patah hati sekali rasanya melihat bayi saya dicolok hidungnya untuk swab test. Alhamdulillah adek bayi yang kuat karena hanya menangis sebentar dan setelah saya susui sudah kembali tenang. Karena besok hari Ahad, pihak RS menyampaikan hasil swab test kami akan keluar Senin pagi, tetapi kami meminta agar diusahakan Ahad malam sudah kami terima hasilnya.

Sabtu malam suami tidur terpisah dari kami, sesuai anjuran dokter yang melakukan swab test. Saya masih sangat berharap bayi saya dan mbauti tidak tertular. Saya, suami, dan mbauti tidak lepas masker, kami tetap mengenakan masker meskipun tidur. Walaupun engap sekali, kami terus memakainya, ikhtiar demi si kecil.

Keesokan harinya saya dan mbauti minum vitamin yang tersedia di rumah, membuat ramuan jahe dan rempah-rempah, minum banyak air putih dan lainnya, sebagai upaya kami untuk memperkuat imun tubuh. Saya melihat bayi saya dengan sedih karena hanya bayi yang tidak bisa minum vitamin. Selain karena masih ASIX, bayi juga tidak mungkin diberi sembarang vitamin.

Saat itu saya semangati dan menyakinkan diri sendiri, bahwa vitamin terbaik bagi adek sudah saya berikan, yaitu ASI. Saya yakin bahwa nutrisi yang terkandung dalam ASI saya adalah vitamin terbaik bagi adek. Saya semakin semangat menyusui si kecil, agar benteng pertahanan imun tubuhnya semakin kuat.

Ahad malam telepon dari RS masuk dan kami mendapat kabar bahwa kami sekeluarga positif COVID-19. Meskipun sudah mempersiapkan mental, leleh juga air mata ini. Jatuh juga pertahanan diri untuk tetap tegar. Sempat berpikir macam-macam dan merasa tidak adil, kenapa bukan orang-orang yang meremehkan COVID-19, kenapa bukan mereka mereka yang masih ngeyel tidak menerapkan protokol kesehatan, kenapa bukan A, bukan B, dan bukan C. Saya menangis dengan pikiran campur aduk, kasihan dengan bayi saya, merasa bersalah, merasa tidak adil kalau keluarga saya yang kena COVID-19.

Lalu saya istighfar..

Astaghfirullah..

Allah memberikan cobaan kepada hamba-Nya tidak mungkin melewati batas kemampuan kita. Allah anggap kami sekeluarga kuat. Allah spesialkan kami dengan memberi sakit sebagai penggugur dosa. MasyaAllah.. Bismillah semoga Allah lapangkan dan ikhlaskan hati kami menerima takdir-Nya ini.

Sampai hari Senin, tidak ada telepon masuk dari Dinas Kesehatan maupun Puskesmas setempat. Gejala yang saya rasakan bertambah, yaitu berat untuk bernapas. suami tidak ada gejala lain selain pilek dan tidak bisa mencium bau. Mbauti sudah mulai batuk dan meriang. Saya bingung dan sedih sekali, terkadang menangis sendiri ketika menatap nanar orang-orang yang saya sayangi, terutama bayi kecil saya. Ikhtiar kami kala itu tetap minum vitamin yang kami punya, alat makan kami pisah sendiri-sendiri, sebisa mungkin menerapkan protokol kesehatan di rumah, dan tentunya berdoa kepada Allah.

Penyakit ini datangnya dari Allah, maka pasrahkan kepada Allah sambil berusaha sebisa mungkin untuk bertahan dan sembuh. Allah mendatangkan penyakit ini dan kami yakin Allah pasti juga akan mendatangkan obatnya. Virus ini adalah makhluk Allah, maka kami selalu memohon agar Allah mengambilnya kembali dari tubuh kami.

Hari Selasa kami masuk RS. Kami tidak bisa lagi menunggu dihubungi Dinas Kesehatan atau Puskesmas setempat, karena khawatir gejala yang kami rasakan semakin bertambah, toh kami juga tidak tau pasti apakah memang akan dihubungi atau tidak. Sampai kapan kami harus menunggu sesuatu yang tidak pasti? Sementara persediaan logistik kami juga semakin menipis. Akhirnya setelah diskusi dengan suami, kami berikhtiar untuk sembuh dan kembali sehat di salah satu RS di Jakarta Selatan.

Sepekan setelah di rawat, kami melakukan swab kedua. Alhamdulillah suami saya diperbolehkan pulang karena sudah dinyatakan negatif COVID-19. Tinggallah saya, si kecil, dan mbauti. Kami masih terus berusaha.

Si kecil lebih sering saya susui, pokoknya saya bertekad kuat untuk gempur virus pakai ASI. Saya selalu bisikkan kepadanya agar mau nyusu yang banyak, agar virus-virus jahat di tubuhnya segera pergi. Saya selalu katakan padanya untuk mau minum vitamin yang diberikan dokter agar tubuhnya kembali sehat. Saya kasih ASI terus setiap adek mau. Sampai sampai, dua Ahad kami di RS, berat badan si kecil naik satu kilo. Bayi saya jadi gembul dan semakin pintar saja.

Sepekan setelah swab kedua, kami menjalani swab ketiga. Saya berharap sekali kami sudah negatif. Saya sudah rindu berkumpul bersama keluarga di rumah. Sudah tidak betah rasanya di RS. Hasil swab keluar juga, bayi saya dinyatakan negatif sedangkan saya dan mbauti masih positif COVID-19.

Dilema melanda.

Bagaimana dengan bayi saya? Dokter memberikan pilihan kepada kami, apakah bayi saya akan tetap di RS dengan saya, mengingat masih menyusu eksklusif, atau bayi saya pulang. Awalnya kami memilih bayi untuk tetap di RS bersama saya, dengan catatan saya harus berhati-hati ketika kontak dengannya. Tapi setelah dokter memberikan nasihat bahwa sebaiknya dibawa pulang untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan, mengingat perawat dan tenaga pekerja RS yang pasti berkontak dengan pasien lain keluar masuk ruang rawat saya, akhirnya kami memutuskan bayi dibawa pulang.

Hari Senin ayah jemput adek dengan saya yang mewek karena berpisah dengan adek. Patah hati sekali rasanya melihat adek dibawa suster dengan APD lengkap pergi dari saya. Adek diantarkan perawat ke ayahnya yang sudah menunggu di lobi dan saya tidak boleh mengantar karena masih di zona merah COVID-19. Rasanya sedih, sepi, ada yang kurang karena biasanya saya dan adek bersama setiap waktu, kini tidak lagi.

Tiap hari, saya rindu bayi saya. Rindu rasanya mendekap tubuh mungilnya, memberikan nutrisi untuknya langsung dari tubuh saya. Saya rindu membisikkan doa kepadanya tatkala ia sedang menatap saya dengan mata polosnya yang jernih, tegas, penuh kepercayaan, dan tanpa keraguan. Saya rindu mengajaknya mengobrol ketika ia sedang asik menyusu.

Saya rindu terbangun di tengah malam atau di sepertiga malam, kala ia sedang sibuk mencari sumber nutrisinya. Sedangkan kini hanya dinginnya corong pompa yang menghisap dada saya, bukan mulut mungil hangat yang akan berhenti sendiri ketika ia jatuh tertidur. Kini hanya alat pompa yang menemani saya di sepertiga malam untuk memompa ASI agar tetap bisa mengirimkan nutrisi ini kepada si kecil di rumah.

Bayangan si kecil yang menunggui nutrisinya di rumah membuat saya semakin semangat untuk memompa dan lebih semangat untuk segera sembuh. Rasa rindu kepada si kecil membuat saya berusaha keras untuk mengusir segala pikiran yang kiranya membuat stres karena saya tidak mau produksi ASI terganggu.

Alhamdulillah ASI saya lancar. Saya percaya dokter sudah memberikan obat yang aman untuk ibu menyusui. Jadi meski dalam sehari saya minum obat lebih dari sepuluh butir, yang terpenting adalah ASI saya cukup untuk adek. Saya percaya pada tubuh saya, bahwa selagi saya mau berdoa dan berusaha, tubuh saya pasti tidak akan mengkhianati untuk bisa menghasilkan ASI terbaik buat adek.

Saya memompa setiap 3-4 jam sekali, dengan terus menanamkan afirmasi positif bahwa ASI saya cukup untuk bayi saya. Saya percaya bahwa hisapan bayilah yang ampuh merangsang tubuh untuk memproduksi ASI. Maka selagi tidak bisa menyusui langsung bayi, saya selalu katakan pada diri saya: ayo sedikit lagi, sebentar lagi, tinggal selangkah lagi untuk bisa keluar dari RS dan bertemu adek serta kembali menyusui langsung.

Saya akan buktikan bahwa tidak ada halangan untuk mengASIhi selagi seorang Ibu mempunyai kemauan dan tekad yang kuat serta kondisi yang mendukung untuk menyusui bayinya. Dalam kondisi saya saat ini, tidak ada alasan untuk berhenti menyusui hanya karena saya positif COVID-19 ataupun karena terpisah jauh dengan bayi. Saya percaya menyusui itu sangat mulia dan bertekad untuk memberikan ASI eksklusif, maka yakin Allah pasti akan memudahkan dan melancarkan prosesnya. Sebulan lagi anak saya genap enam bulan, meskipun kehilangan momen menyusui langsung selama hampir sebulan, tetapi saya tidak pernah kehilangan semangat untuk tetap mengASIhi si kecil. MengASIhi hingga ia berusia dua tahun, itulah impian saya.

Ucapan agar tetap semangat terus saya terima dari orang-orang terdekat, mulai dari keluarga, teman, dan rekan kerja. Saya bersyukur mempunyai mereka. Tekad saya untuk tetap mengASIhi dan harapan untuk segera sembuh menjadi semacam booster semangat agar lebih banyak memasukkan nutrisi ke tubuh. Makan saya jadi lahap, minum saya jadi banyak, ASI saya jadi lancar. Mama akan pulang, nak. Mama akan kembali menyusuimu. Doakan Mama bisa segera pulang, ya. Tunggu Mama di rumah.

Teruntuk seluruh Ibu di luar sana yang sedang berjuang mengASIhi si kecil, yakinlah bahwa Allah mengaruniai ASI kepada kita sesuai dengan kebutuhan bayi kita. Percayalah selagi kita punya tekad kuat untuk tetap bisa mengASIhi pasti Allah memberikan jalan untuk kita menghadirkan yang terbaik. Menyusui itu tekad, kemauan, kesabaran, dan kebahagiaan. Teruslah berjuang, teruslah berusaha, teruslah mengASIhi, dan selamat memberikan yang terbaik untuk buah hati.

Usai menulis tulisan ini, mbauti sudah pulang ke rumah selama 3 hari. Sedangkan saya baru saja melakukan swab test yang kelima. Qadarullah, saya masih positif. Saya manusia biasa yang bisa merindukan seseorang hingga rasanya tidak sabar lagi untuk bertemu. Hari ini saya mengirim email ini, dengan hati yang sempat down karena kecewa belum negatif juga. Terlebih melihat si kecil yang hari ini kontrol ke dokter anak ditemani ayah, tanpa saya. Biarkanlah hari ini saya merasa kecewa terhadap diri sendiri. Tapi esok hari, saya berjanji akan bersemangat lagi, untuk berikhtiar sembuh dan kembali sehat. Mohon doakan saya ya.. agar dapat lekas bertemu dengan si kecil.


Terdapat pada kategori Cerita Sukses pada 21 Apr 2022

Informasi Lainnya

Yuk, Berpartisipasi Dukung AIMI

AIMI 15th SEHATI Virtual Run & Ride

MengASIhi x COVID-19