Pemberian ASI adalah langkah terbaik untuk bayi. Pelajaran itu kami simpulkan dari referensi bacaan maupun konsultasi laktasi. Jadi tak ada alasan untuk tidak memberikan ASI bagi bayi. Dengan dukungan penuh dari suami, aku bertekad untuk melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sehingga bisa memberi ASI ekslusif untuk si kecil, apapun kendalanya.
Bagi pasangan yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, mencari informasi tentang RS yang pro IMD atau dokter kandungan yang mendukung gerakan pemberian ASI bagi si kecil dengan mudah bisa didapatkan.
Namun lain ceritanya bagiku yang merencanakan kelahiran di kampung. Tepatnya di Ciamis. sebuah kota kecil dimana kedua orangtuaku tinggal. Aku tidak yakin sudah ada RS yang pro IMD dan ASI di sana. Ini terbukti dari cerita sahabat. Dimana Dokter kandungan yang membantu persalinannya bilang “Bu, anaknya harus dibiasakan minum sufor ya. Biar tidak kaget ketika nanti ditinggal kerja”. Oups!!! Tidak! Bagaimana mungkin bisa dilakukan IMD. Karena pro ASI pun tidak.
Pesimisnya segera membayang di benak. Untungnya aku ingat bahwa ada saudara yang berprofesi sebagai bidan. Segera aku mencari tahu apakah di Ciamis sudah ada sosialisasi mengenai IMD. Jawabannya ternyata sangat melegakan. Ternyata sudah. Segera kusampaikan niat untuk bisa melahirkan dengan bantuan beliau. Sayang, rumahku berjauhan dengan tempat tinggalnya. Tentu sedikit menyulitkan jika aku kontraksi pada tengah malam. Walhasil, mamaku menyarankan untuk menggunakan jasa bidan terdekat saja.
Pertimbangan melahirkan di kampung halaman adalah selain ekonomis, juga kenyamanan psikologis. Didampingi oleh keluarga besar yang tentu akan sangat membantu. Dan berdasarkan pemeriksaan medis, Alhamdulillah kondisi kandunganku baik – baik saja, sehingga makin mantap keinginan untuk segera pulang kampung untuk persiapan menyambut kelahiran buah hati.
Berbagai persiapan kami lakukan begitu ijin cuti keluar. Mulai dari konsultasi dan cek rutin ke bidan terdekat. Sebelumnya, aku dan suami telah menyiapkan segala hal tentang IMD. Dari artikel hingga video. Aku juga mensosialisasikannya di lingkungan keluarga. Orang tuaku, kerabat dan siapapun, bahwa jika aku melahirkan, aku ingin melakukan IMD. Setelah tahu dan menyaksikan video IMD, mamaku memberi dukungan sepenuhnya. Dan meyakinkan bahwa bidan pun akan berusaha merealisasikan apa yang diinginkan pasiennya. Apalagi sekarang, dalam ilmu kebidanan diterapkan “sayang ibu, sayang bayi” (informasi ini aku peroleh dari saudaraku yang berprofesi bidan). Artinya, bidan harus bisa mengikuti keinginan pasien untuk kenyamanannya. Dari mulai posisi melahirkan yang ditentukan sendiri oleh si ibu, hingga perawatan setelah melahirkan (sebaiknya diberikan anestesi sebelum dijahit). Bahkan harus diusahakan tanpa induksi, karena hal itu akan sangat menyakitkan ibu.
Mengungkapkan sebuah keinginan, terkadang tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi menyusun tata bahasanya agar tidak terkesan menggurui. Setelah mereka – reka kata, ketika bidan tengah memeriksa detak janin, akhirnya keluar juga dari mulutku “maaf ibu. Nanti ketika saya melahirkan, saya ingin sekali melaksanakan IMD”. Aku tunggu sejenak, melihat reaksi yang ditimbulkannya. Sengaja aku membuat pernyataan seperti itu, karena aku yakin beliau sebenarnya sudah tahu banyak tentang IMD. Beliau tersenyum. Bu bidan ini sangat sangat lembut. Tutur katanya santun. Menenangkan sekali. Maklum beliau bidan senior. Jam terbangnya tinggi. Terkadang aku jadi belepotan juga cari kata yang pas ketika berbicara dengan beliau. “Bagus neng. Bagus sekali jika neng ingin melakukan IMD. Memang, ilmu kebidanan itu selalu berubah seiring waktu. Jika dulu, cukup dengan ibu menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan untuk dapat kolostrumnya. Sekarang justru bayi menyusu
di saat – saat kehidupan pertamanya”. Lega sekali.
Benar dugaanku, beliau memang telah mengetahuinya “tapi neng, jika bayi langsung diletakkan di dada ibu tanpa memotong terlebih dahulu tali pusatnya, kita lihat kondisinya dulu nanti ya”. Waduh! Bagaimana ibu ini. Kok terkesan ragu – ragu “tapi bu, saya mohon, saya bisa IMD nanti. Yang saya pahami. Tali pusat bayi dipotong terlebih dahulu juga tidak apa – apa jika tidak memungkinkan”. Aku mulai ngotot. Lagi – lagi beliau Cuma tersenyum “baiklah. Nanti kita usahakan”. Hhh!!! Musti terus diingetin nih pikirku. “Ehmm, sebelumnya apa sudah pernah ada bu yang melakukan IMD?”, keluar juga pertanyaan itu. Penasaran soalnya. “Ehmmm sudah, sudah”. Jawabnya terkesan tidak meyakinkan. Tapi aku positive thinking saja. Semoga memang aku bukan yg pertama kali melakukan IMD di desaku. Andaipun aku yang pertama -tanpa kuketahui-, semoga setelahnya setiap ibu melahirkan akan melakukan IMD tanpa harus diminta.
Pada hari H aku melahirkan, ternyata tidak serta merta aku bisa langsung IMD, meskipun dalam keadaan perut mulas, sempat juga kuutarakan “Ibu, jangan lupa saya mau IMD”. Sebelumnya pun, aku sudah mempersiapkan diri dengan menggunakan baju bukaan depan untuk memudahkan prosesnya. Bahkan ketika sedang menikmati masa kontraksi, yang ada dalam pikiranku adalah lahiran normal dan lancar, terus bisa IMD, IMD dan IMD.
Kelegaan dan kebahagiaan menyergapku begitu bayi lahir, melenyapkan semua rasa sakit. Apalagi kemudian bayi montok yang masih berlumur darah dan lendir itu diletakkan di dadaku dengan tali pusat yang masih menyatu. Subhanallah, betapa indahnya. Begitu menakjubkan. Tapi belum juga si kecil merangkak rangkak, dengan cepat dia diangkat dari dadaku. Aku kaget. Sebenarnya aku masih punya banyak sisa tenaga untuk berdebat dengan bu bidan saat itu. Tapi demi melihat situasi dan mama yang ‘agak’ memohon padaku untuk mengikuti apa yang bu bidan katakan. Aku hanya mengangguk. Sesak dadaku. Aku nggak mau jika IMD ku gagal…
Segera setelah jagoanku diangkat, tali pusatnya digunting dan diikat lalu diberikan ke mamaku dengan tanpa dibersihkan. Ah! Masih ada kesempatan IMD pikirku. Asal jangan lebih dari 20 menit. Bu bidanpun seolah merasa bersalah. Dengan muka tegang beliau bilang “maaf ya neng. Plasentanya belum keluar, agak lengket, jadi harus diambil ke dalam”. Hhh!!! Rupanya ini yang membuat beliau tegang. Padahal dalam teori IMD. Dengan bayi diletakkan di atas dada dan dia menendang – nendang perut untuk mencapai payudara, maka pada saat itulah plasenta akan –terbantu- terdorong dan keluar. Untunglah, tidak sampai 15 menit, semuanya selesai. “IMD nya mau dilanjutkan neng?” kalimat itu yang keluar dari bu bidan. “tentu saja bu, saya mau anak saya IMD”. Aduh! Ibu! IMD kan cita – cita saya sejak saya masih hamil. Ingin rasanya aku bilang begitu. Aku lihat ada keengganan sebenarnya aku meneruskan IMD. Aku tahu ini merepotkannya. Karena beliau sempat bilang “Sebenarnya saya nggak sanggup jika melakukan IMD tanpa asisten”. Oouuww!!! Mungkin bukan cuma bidanku yang bilang begitu. Mungkin banyak pelaku medis yang masih merasa ‘ribet’ jika harus diterapkan IMD pada pasiennya. Wallahu’alam. Yang pasti pada saat itu, aku tidak peduli. Yang penting si kecil sudah di dadaku lagi. Dan tidak ada seorang pun yang boleh mengambilnya sampai dia menemukan sendiri puting dan menghisapnya.
Setiap detik rasanya tak ingin kulewatkan saat itu. Masih terasa bagaimana kakunya rambut – rambut halusnya karena darah dan lendir. Tangan mungilnya yang mengepal dan mulai dikecapnya. Matanya yang merem melek. Lidahnya yang menjilat – jilat dadaku. Kakinya menendang – nendang seolah merangkak. Dia menuju ke payudaraku sebelah kiri. Baru mau sampai, dia melorot lagi ke arah perut. Begitu terus sampai beberapa kali. Aku dengan semangat terus membisikinya bahwa dia pasti bisa. Sesaat sempat dia terdiam. Mungkin sedang mengumpulkan tenaga atau malah sedang mencari arah melalui instingnya. Bu bidan pun ikut takjub melihat si kecil yang merangkak mencari cari. Kepalanya tengok kanan kiri, kadang nyungsep di dada. Kemudian dia akan terpejam, hidungnya mengendus endus. Waktu 1 jam tak terasa sama sekali. Rasanya baru sekejap ketika dia mulai menyangga PD ku dengan tangan kanannya sementara mulutnya menganga lebar. Kuasa Allah, tangan mungilnya seolah
mendorong PD ku untuk masuk ke mulutnya. Dan hap!!! Dalam waktu 1 jam, Alhamdulillah, akhirnya dia berhasil menemukan sumber makanan pertamanya sendiri.
Lega…Benar – benar lega dan bahagia. Dengan perjuangan -yang hampir saja menggagalkan IMD ku-, aku bisa juga merasakan nikmatnya IMD. Dalam hal ini dukungan suami terutama, kemudian orangtua dan orang – orang terdekat adalah faktor penting dalam keberhasilan IMD. Selain itu faktor tempat yang dapat membuat ibu dan bayi merasa nyaman. Hal yang paling penting sebenarnya dukungan dari para pelaku medis yang sebenarnya lebih paham baik dari segi teori maupun praktek tentang IMD.
Salam,
Indry (mamanya Rama 4m3w2d)
http://cintasempurna.multiply.com