Membaca judul diatas, beberapa dari kita tentu bertanya-tanya. Repot? Apanya yang repot ya?
Bagi kita yang sudah memahami informasi mengenai Inisiasi Menyusu Dini (IMD) tentu saja tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Bukankah bayi baru lahir dapat segera mencari puting susu ibunya sesaat ketika lahir, karena hal tersebut merupakan naluri alamiah yang dimilikinya.
Pertanyaannya adalah, apakah semua tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang akan membantu ibu untuk melahirkan bayinya sudah memahami dan mau melakukan hal ini? Yuk simak bersama sharing saya berikut ini.
Mencari rumah sakit yang bersedia melakukan Inisiasi Menyusu Dini memang gampang-gampang susah. Mengapa demikian? Karena bisa saja ibu sudah menemukan tenaga kesehatan yang bersedia untuk melakukan IMD pada kelahiran normal maupun caesar, tetapi rumah sakitnya tidak menyetujui. Terdengar familiar?
Kejadian ini terjadi pada saya ketika hamil anak kedua. Untuk mendapatkan hak yang satu ini saya dan suami harus sering-sering ‘shopping‘ dokter dan rumah sakit. Saat itu kami sudah bertemu dengan dokter kandungan yang cocok, tetapi beliau belum memahami tentang tata laksana IMD dengan baik.
Di lain pihak rumah sakit bersalin tempat dokter tersebut praktek telah meng-‘claim‘ dirinya sebagai rumah sakit sayang Ibu dan bayi dengan mendukung pemberian ASI dan tidak memberikan dot/botol pada bayi. Tetapi sayang, belum banyak cerita sukses tentang IMD di rumah sakit tersebut, terlebih yang ditangani oleh dokter kandungan saya.
Setelah mencari tahu informasi mengenai IMD yang dilakukan disana, ternyata IMD belum dilakukan dengan tata laksana yang benar, dimana bayi baru lahir langsung diletakkan diatas dada ibu selama 5 menit saja, kemudian langsung dipisahkan dari ibu untuk diobservasi dan dipertemukan kembali setelah 6 jam persalinan. Bayi tidak diberikan kesempatan untuk menemukan puting susu ibu-nya. Hal ini diperparah dengan tidak diijinkannya rawat gabung untuk bayi dengan ibunya dengan berbagai macam alasan. Rawat gabung baru dilakukan ketika pasien memaksa, dan pihak rumah sakit berulang kali menegaskan bahwa segala konsekuensi harus ditanggung oleh pasien karena bayi tidak berada dalam pengawasan mereka. Padahal, bayi yang selama 24 jam selalu bersama ibu-nya akan semakin sehat dan jauh dari risiko-risiko medis yang mungkin terjadi pada bayi baru lahir.
Rumah sakit ini memang menganjurkan pemberian ASI, tapi tidak ada bimbingan langsung untuk menyusui saat baru melahirkan dan baru diajarkan pada hari terakhir di ruang bayi bersamaan dengan mengajarkan perawatan bayi baru lahir. Rumah sakit inipun langsung menyetujui bila ada ibu yang meminta sufor untuk bayinya.
Mengetahui hal ini tentu saja kepanikan melanda saya. Kami dihadapkan pada dua pilihan, yaitu ganti dokter atau ganti rumah sakit. Tetapi karena malas beradaptasi dengan dokter yang baru lagi serta sudah nyaman dengan dokter yang menangani saat ini, saya memutuskan untuk meneruskan saja periksa kehamilan dan melahirkan dengan dokter saya di rumah sakit yang saya pilih.
Dengan mengucap Bismillah, saya berkeyakinan bisa melakukan IMD untuk kebaikan Ibu dan Bayi. Melalui milis AFB, aku kumpulkan testimoni dari yang pernah melahirkan di rumah sakit bersalin tersebut, terkumpullah 6 testimoni terdiri dari 5 testimoni IMD yang hanya 5 menit dan 1 yang sukses. Saya berikan testimoni tersebut ke dokter kandungan saya, dan sepertinya sang dokter menjadi ‘tertantang’, dalam diskusi terungkaplah bahwa beliau belum terinformasi bahwa minimal waktu IMD adalah 60 menit.
Kendala lain yang dirasakan adalah canggung, karena dokter kandungan banyak yang laki-laki. Setelah dijelaskan kalau dokter tidak perlu menunggui selama proses IMD berlangsung yang penting pastikan para suster dan bidan mengerti prosedurnya, tidak menyulitkan seperti menakut-nakuti bayi dingin dan lain sebagainya. Tidak ketinggalan saya belikan VCD IMD dari AIMI untuk dipelajari. Alhamdullillah, gayung bersambut. Sebelum saya melahirkan, dokter memperkenalkan kami dengan para bidan dan suster yang akan membantu saat kelahiran. Senangnya!
Hari H-pun tiba. Saya sudah merasakan kontraksi datang dan pergi selama satu minggu. Saat periksa di usia 38 minggu ternyata ketubanku sudah berkurang dan semakin sedikit. Perkiraan dokter malam ini saya akan melahirkan, namun bila tidak maka harus diinduksi. Ternyata sampai besok pagi tidak ada kontraksi, akhirnya saya harus kembali diinduksi. Baru 2 jam diinduksi, ketuban lagi-lagi pecah dan kali ini sudah berwarna hijau. Maka dokter memutuskan untu melakukan cesar harus dilakukan. Hampir pupus harapan untuk IMD, tapi Alhamdulilah ternyata dokter kandungan menepati janji dan komitmennya. Andra menangis sangat kencang ketika dilahirkan dan setelah dipastikan sehat, Andra dibersihkan seadanya dan langsung diletakkan ke dadaku untuk IMD.
IMD berlangsung lancar, tidak sempurna memang, tapi aku cukup puas. Beberapa kali perawat menyodorkan ‘puting’ pada Andra. Tetapi bagaimana mau meminumnya, Andra belum siap, jadi biarpun disodorkan puting, Andra tetap saja diam. Tidak hanya itu tantangannya, belum juga 60 menit, para perawat juga berusaha untuk menghentikan proses IMD dengan berkata: “Yang penting skin to skin bu, itu namanya udah IMD” kata perawat padahal saat itu IMD baru berlangsung 15menit. Karena Andra dilahirkan cesar dia masih asyik menikmati kehangatan bundanya, bergerak sedikit lalu tidur lagi. Menit ke 60 Andra mulai bergerak, bidan dan perawat yang berada dalam ruangan bahkan diluar ruangan langsung masuk kesenangan melihat bayi yang baru berumur 60 menit, menendang maju dan mengangkat tinggi kepalanya untuk menggapai puting bundanya. Mereka sangat antusias melontarkan komentar ‘hebat ya’, ‘coba tuh lihat, Subhanallah’ dan masih banyak komentar lainnya. Belum lagi ketika melihat Andra menemukan sendiri puting di menit ke 110 dan dengan asyiknya melahap kolostrum pertamanya. Alhamdulillah ya Allah!
Kejadian itu membuatku terhenyak, ternyata para perawat tadi belum pernah melihat IMD secara langsung. Tak kenal maka tak sayang, ternyata selama ini mereka tidak percaya diri, mereka belum menyaksikan langsung kehebatan dada ibu yang mampu menghangatkan bayi baru lahir. Mereka belum pernah menyaksikan indahnya bayi berusia kurang dari 2 jam berhasil merangkak di perut bundanya. IMD terlaksana cukup baik, aku cukup puas. Ternyata tidak hanya aku yang merasa puas. Perawat bayi yang setia menungguiku ketika IMD, senang sekali datang ke kamarku ketika jam besuk tiba. Dengan semangat’45 perawat tersebut menceritakan proses IMD yang menurutnya sangat menakjubkan kesetiap orang yang mengunjungiku. Ini dilakukannya selama 3 hari aku berada dirumah sakit.
Berarti selama ini disinilah masalahnya kita sebagai pasien, perawat, dan dokter sama-sama belajar. Ketika banyak dari kita yang berusaha mencari rumah sakit sayang bayi dan pro IMD, sebaiknya kita mulai dari diri kita, kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Adalah penting untuk menyamakan persepsi IMD dan rooming in dengan tenaga kesehatan yang terlibat. Tapi sekarang aku yakin, banyak perawat dan dokter yang kurang percaya diri bukannya tidak pro ASI atau IMD, seperti kata dokter hebat pejuang ASI dr Utami Roesli ‘mereka ini orang-orang yang belum mendapatkan hidayah’, jadi tidak ada salahnya sebagai pasien kita yang memulai.