diterjemahkan dari artikel di Jakarta Post tgl. 21 Agustus 2008.
Wilson baru saja melewati ulang tahun pertamanya akhir pekan yang lalu dan ibunya tidak hanya sibuk untuk menyiapkan pestanya tapi juga sibuk meladeni pemasar produsen susu formula.
“Saya mendapat telpon dari dua perusahaan susu formula dan telah dikirimi contoh susu formula dari salah satu perusahaan tersebut. Saya rasa ini disebabkan karena sudah saatnya Wilson mengganti susu formulanya,” kata ibunya Wilson, Melvin.
“Saya melahirkan melalui operasi caesar. Setelah lahir, perawat membawa bayi saya kepada saya … dan kami mencoba untuk memberikan ASI kepadanya tapi tidak setetes pun ASI yang keluar. Jadi perawat tersebut menanyakan jika saya mau memberikan susu formula untuk bayi saya,” katanya.
Ibu tersebut menerima saran tersebut walaupun dia bisa saja memilih untuk tetap memberikan ASI.
“Saya diberitahu bahwa ASI lebih baik tapi produksi ASI saya tidak mencukupi. Saya rasa tidak ada masalah dengan susu formula. Sejauh ini anak saya sehat,” katanya.
Reni Ningsih, ibu dari anak berusia 3 tahun dan sedang hamil 6 bulan, menceritakan hal yang sama.
Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa perusahaan susu formula tersebut telah melanggar peraturan internasional dalam memasarkan produk mereka, atau bahwa para praktisi kesehatan seharusnya memberikan semangat kepada mereka untuk memberikan ASI sesuai yang tertulis pada SK menteri tahun 2004 tentang menyusui.
Perusahaan susu formula tidak diijinkan untuk menghubungi para ibu, dan perawat diharuskan untuk mempromosikan pemberian ASI sebagaimana diatur dalam regulasi WHA (World Health Assembly) tahun 1981 tentang pemasaran susu pengganti ASI.
Regulasi tersebut menyatakan bahwa semua rumah sakit dan tempat umum tidak boleh mempromosikan materi susu pengganti ASI. Dan, acara yang mengikut sertakan bayi tidak boleh memasang sponsor dari merek apa pun.
“Pelanggaran ini telah terjadi selama bertahun-tahun. Tidak banyak perubahan yang dilakukan semenjak kami mengeluarkan pamflet tentang pelanggaran ini di tahun 2006,” kata Sri Sukotjo, ahli gizi dari United Nations Children’s Fund (UNICEF).
Beliau juga mengatakan bahwa banyak rumah sakit yang masih menampilkan atau mempromosikan produk dalam bentuk poster, kotak tisu, jam dinding, timbangan dan tag nama bayi.
Beberapa perusahaan mendistribusikan pamflet di acara anak-anak, sementara banyak dari acara tersebut seringnya diselenggarakan atau disponsori oleh perusahan susu formula.
Kepala kesehatan dan gizi Unicef di Indonesia, Anne H. Vincent, bulan lalu mengatakan bahwa pemasaran susu formula yang sangat agresif dan dapat membuat para ibu beralih dari kegiatan menyusui langsung ke penggunaan botol susu.
Menurut data dari pemerintah, rata-rata nasional pemberian ASI turun menjadi 32.4 persen di tahun 2007 dari 42.4 persen 10 tahun yang lalu. Sedangkan rata-rata pemberian botol meningkat menjadi 27.9 persen dari 21.1 di periode yang sama.
Pemerintah juga telah berusaha untuk membatasi perusahaan pemasaran melalui SK menteri pada tahun 1997 tentang pemasaran susu formula. Tetapi RUU terbaru tentang susu pengganti ASI telah terlantar selama tiga tahun tanpa kejelasan status, tambah Anne.
Walikota Jakarta Pusat, Sylviana Murni, mengatakan pemerintah, yang tidak mendapat hukuman untuk tidak mengikuti peraturan ini, masih mendistribusikan informasi tentang ASI.
“Memang telah ada penurunan. Kami telah mensirkulasikan surat yang mengharapkan pengurangan eksposur, terutama di rumah sakit,” katanya
“Kampanye tentang pemberian ASI sebenarnya sangat intens, seperti pada kampanye anti merokok. Tetapi orang masih merokok walaupun perusahaan rokok telah menyatakan bahwa merokok berbahaya,” kata Sylviana.
Tidak hanya ibu-ibu yang dibombardir oleh iklan, tetapi juga beberapa rumah sakit yang dianggap tidak mendukung kegiatan menyusui walaupun telah didorong oleh pemerintah.
Mia Sutanto, ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), mengatakan dokternya menyarankan untuk memberikan bayinya (sekarang berumur 4 tahun) susu formula dan menakutinya dengan mengatakan bahwa berat bayinya akan berkurang jika tidak diberikan susu formula.
“Tapi sebenarnya bayi baru lahir dapat bertahan hidup tanpa cairan selama 48 jam dan berkurangnya berat badan merupakan hal normal bagi mereka,” katanya.
Mia mengatakan bahwa para ibu harus mengerjakan PR mereka agar tetap yakin untuk memberikan ASI dan mencari rumah sakit yang mendukung keputusan ini.
“Praktek standar rumah sakit tidak mendukung kegiatan menyusui. Beberapa dokter segan untuk melakukannya. Tanpa dukungan yang mencukupi dari para dokter, rumah sakit dan keluarga, beberapa ibu akan merasa kesulitan untuk menyusui,” katanya.
dr. Utami Roesli dari Sentra Laktasi Indonesia mengatakan bahwa kampanye untuk kegiatan menyusui ini ditujukan kepada kegagalan dari tenaga kesehatan, bukan ke para ibu.
“Para ibu yang tidak menyusui jangan merasa bersalah, karena itu akan tambah menyulitkan mereka untuk menyusui,” kata beliau.
“Ayah memerankan peranan penting. Sekarang, menyusui tidak hanya antara ibu dan anak tapi juga dengan ayah,” katanya. (mri)