6 LANGKAH CEGAH KDRT
Hai Moms!
Sudah bukan rahasia bahwa angka KDRT di seluruh dunia melonjak semenjak diberlakukannya karantina wilayah (lockdown) dan PSBB akibat pandemi COVID-19. Di Spanyol, hotline untuk KDRT bahkan menerima 18% lebih banyak aduan, sementara di Perancis terjadi 30% peningkatan kasus KDRT. Kecenderungan tersebut juga terjadi di AS, Inggris, Italia, serta Tiongkok. Sayangnya kekerasan ini mayoritas dialami oleh perempuan dan anak.
“Wah berarti semuanya mengalami kekerasan fisik ya?” Tidak mesti, sebab KDRT juga bisa berbentuk kekerasan verbal, psikologis, seksual, sosial, bahkan juga penelantaran ekonomi. .
Berpikir bahwa suami/ ayah memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding istri dan anaknya bisa menjadi pembenaran tindak laku kekerasan, sekecil apapun itu. Tapi hal ini bisa dicegah kok!
Simak di
sini untuk artikel lebih lengkap.
Mengalami KDRT saat DiRumahAja
Menurut WHO, terjadi peningkatan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang signifikan di berbagai negara seiring dengan pandemi COVID-19. Sayangnya, tidak banyak korban KDRT yang melaporkan kekerasan tersebut atau meminta bantuan ahli dikarenakan kebijakan lockdown dan anjuran untuk menghindari rumah sakit.
Kondisi “the new normal” ini memang mengubah hampir semua aspek kehidupan. Bagi yang bekerja, mengasuh anak 24 jam tentu membutuhkan waktu dan kesabaran lebih. Kebutuhan rekreasional di luar rumah yang biasanya dijadikan pelepas penat pun kini tidak bisa dilakukan. Belum lagi tugas domestik yang meningkat dan rentan menimbulkan kelelahan jika tidak ada pembagian tugas dengan anggota keluarga lain. .
Tak hanya rutinitas, banyak pula yang keluarga yang terdampak secara ekonomi. Pemasukan berkurang, terkena PHK, atau harus menutup usaha akan menimbulkan beban yang sangat besar bagi kepala keluarga pada khususnya, juga pada pasangan. Ketidakpastian kapan situasi ini akan berakhir memunculkan rasa cemas, tertekan, hingga putus asa. Emosi negatif tersebut bisa secara sadar atau tidak sadar dilampiaskan kepada pasangan, anak, ataupun anggota keluarga lainnya.
Simak artikel lengkapnya di
sini
Pentingnya Self-care
Berpindahnya sekolah dan kantor ke rumah selama pandemi ini sedikit banyak menimbulkan tekanan bagi orangtua maupun anak. Perubahan bertubi-tubi ini tak jarang membuat orang tua –khususnya ibu- serasa kehabisan waktu untuk diri sendiri, bahkan untuk urusan yang sangat sederhana sekalipun. Homeschooling dengan anak pun bukan tak mungkin berubah menjadi “home yelling” karena orang tua yang mendadak hilang kesabaran hanya karena hal sepele. Jika ini yang terjadi pada Anda, bisa jadi Anda kurang melakukan self-care.
Supaya kondisi kesehatan mental kita tetap terjaga, ada 4 basic self-care yang tentunya perlu dipenuhi. Nah, hal ini pun tidak bisa ditawar-tawar, misal olahraga dan mandi nggak usah. Usia berapa pun Anda, di belahan dunia mana pun, basic self-care harus jalan baru sisanya.
Selengkapnya silakan meluncur ke
sini
Jurus RILEKS
Ibarat sebuah peperangan, kondisi pandemi virus corona saat ini seperti bertempur melawan musuh yang tak terlihat. Akibatnya, banyak orang yang merasa takut, khawatir, cemas yang lebih dari biasanya. Cemas akan terinfeksi, namun juga cemas akan kondisi yang semakin tak pasti. Apalagi, jika ketidakpastian ini mempengaruhi kondisi ekonomi.
Wajar jika Moms turut merasa cemas. Namun, tidak perlu khawatir jika kecemasan tersebut tidak mengganggu “fungsi” Moms sehari-hari. Misalnya Moms tetap berselera makan, masih bisa menyelesaikan tugas rumah dan kantor, serewel apapun anak masih bisa ditangani. Sebaliknya, jika Moms mulai kehilangan semangat merawat diri (meskipun hanya mandi dan makan), mudah kuatir meskipun hanya membaca berita, atau mengabaikan anak di saat ia membutuhkan bantuan Moms, maka Moms perlu waspada. Karena, terganggunya aktivitas sehari-hari adalah salah satu gejala gangguan kesehatan mental.
Dengan mengetahui respon seperti apa yang wajar dan tidak wajar, Moms bisa mengantisipasi terjadinya gangguan mental atau bahkan gangguan psikologis.
Jadi bagaimana kita mengatasinya? Yuk, kita lihat di
sini
Terisolasi Pasca Melahirkan
Kehamilan dan melahirkan adalah momen yang paling membahagiakan untuk para Ibu. Mengecup bayi saat dekapan pertama mungkin menjadi bau yang selamanya akan dirindukan. Bangun malam untuk menyusui, mengganti popok, menikmati tangisan akan terasa lebih mudah saat melakukannya dengan yang tersayang. Sayangnya, tak semua Ibu bisa menikmati proses pasca melahirkan ini. Momen yang seharusnya menjadi menyenangkan, menjadi momen yang dihindari bahkan dibenci. Tak bisa disalahkan, hanya bisa diobati.
Sulitnya melewati depresi pasca melahirkan, kini diperparah dengan tekanan kondisi yang mengharuskan para ibu baru untuk tetap #dirumahaja. Tanpa ada me time dengan pergi ke luar rumah (misal ke salon atau nonton ke bioskop) atau bantuan keluarga yang tinggal terpisah. Dengan pandemi yang belum juga usai, ibu yang masih kewalahan sendirian, lalu harus tetap di rumah sementara pasangan sudah harus kembali bekerja karena aturan adaptasi baru. Lalu, bagaimana ibu baru melewati depresi pasca melahirkan sambil tetap harus berada #dirumahaja? Simak artikelnya di
sini ya