Tahun lalu tepatnya bulan Februari merupakan salah satu moment bersejarah bagi saya, pagi hari sebelum berangkat ke kantor, saya sengaja mengecek urin dengan alat test pack yang saya persiapkan malam sebelumnya. Hati saya tak menentu ketika muncul 2 garis berwarna pink yang menandakan kalau saya positif hamil, bahagia dan takut.
Bahagia karena ini anugerah dari ALLAH SWT bagi setiap pasangan suami istri. Tapi kenapa harus takut? Saya takut karena saya bukan calon ibu ‘biasa’. Saya calon ibu yang berstatus HIV positif. Sudah hampir 1 tahun sebelum hamil, saya terinfeksi virus mematikan ini, virus yang konon belum ditemukan obatnya, dan penyakit yang menurut saya ‘gak keren’ karena sebagian orang menganggap ini penyakitnya orang ‘bandel’.
Saat saya diketahui terinfeksi virus ini, bukan kematian yang saya takuti karena setiap makhluk hidup pasti akan mati, hanya caranya saja berbeda. Tapi saya menangisi kemungkinan saya memiliki anak yang sehat dan dapat menyusui anak saya (jauh sebelum menikah, saya sudah bercita-cita memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada anak-anak saya).
Setelah berkonsultasi dengan dokter, saya memiliki semangat hidup kembali karena ternyata saya tetap dapat hidup berkualitas layaknya orang sehat lainnya dan yang paling penting memiliki anak yang sehat tanpa terinfeksi virus yang sama, tentunya dengan cara-cara tertentu. Saya hanya perlu menjaga agar nilai CD4 saya di atas 500, virus tidak terdeteksi (menggunakan tes viral load) dan tetap mengkonsumsi ARV (obat antivirus) dll.
Nah, kekhawatiran tidak dapat memiliki anak yang sehat sudah sirna, tapi masih ada satu kegundahan saya (gak abis2 ya galaunya :p). Bagaimana dengan cita-cita saya yang ingin memberikan ASI eksklusif kepada bayi saya? Darimana anak saya mendapatkan kekebalan tubuh kalau saya tidak memberikan ASI? Dari sebelum saya hamil, saya pernah membaca soal donor ASI jadi saya ingin tetap memberikan ASI kepada anak–anak saya walaupun dari orang lain.
Dari sinilah saya mengenal AIMI. Saat memasukkan keyword donor ASI di mbah google, yang paling banyak muncul adalah AIMI, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia. ‘Perjuangan’ saya untuk mempertahankan agar anak yang saya kandung tetap sehat dan mendapatkan haknya untuk mendapat ASI dimulai.
Mulai browsing sana-sini, mencari referensi dokter kandungan yang dapat memahami status saya serta memantau timeline AIMI di Twitter, kalau-kalau ada yang ngetwit ingin mendonorkan ASInya. Dari sini saya banyak diperlihatkan kebesaran ALLAH SWT, saya menemukan dokter kandungan tanpa sengaja dengan cara browsing. Langkah pertama saya mencari rumah bersalin yang pro ASI lalu saya baca jadwal praktek dokter kandungannya, awalnya saya ingin ditangani oleh dokter kandungan wanita namun pada saat itu jadwal praktek sang dokter tidak cocok dengan jadwal kunjungan saya (saya tinggal di daerah tapi ingin melahirkan di Jakarta dengan berbagai pertimbangan). Akhirnya saya malah dipertemukan dengan Dr. A, SpOG (untuk alasan tertentu saya sembunyikan identitasnya). Alhamdulilah sang dokter sangat bersahabat dan mau membantu tapi beliau sudah wanti-wanti kalau saya harus melahirkan dengan proses operasi caesar dan tidak bisa IMD.
Selesai urusan dengan dokter kandungan. Pencarian donor ASI dimulai. Suatu hari saya membaca AIMI meretweet twit @ernestprakasa (seorang stand up comedian yang juga salah satu admin @ID_AyahASI. Ia mengatakan kalau ibu berstatus HIV positif tetap dapat menyusui anaknya secara langsung. Saya tersentak, segara saya kumpulkan informasi sebanyak mungkin dan malam itu juga saya memberanikan diri mengirimkan email kepada Mbak Mia Sutanto (Ketua Umum AIMI) untuk bertanya mengenai kemungkinan saya dapat menyusui sendiri bayi saya.
Respon yang saya dapat sangat positif dari Mbak Mia, ia membalas email saya dengan panjang lebar dan memberikan beberapa fakta penelitian kalau memang saat ini ibu dengan status + H dapat tetap menyusui bahkan beliau menyarankan agar saya mencari RS bersalin yang pro ASI dengan dokter kandungan dan dokter spesialis anak yang pro ASI pula. Entah bagaimana skenario Tuhan yang bisa mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang ternyata saling berhubungan. Mbak Mia ternyata mengenal baik dokter kandungan yang saya pilih dan ia juga sangat merekomendasikan dokter tersebut, tak lupa Mbak Mia merekomendasikan agar saya berkonsultasi dengan dokter anak ahli laktasi di RS yang sama dengan dokter kandungan, yaitu dr. AP, SpA.
Singkat cerita ketika mendekati masa kelahiran, saya berkonsultasi dengan dr .AP, SpA tentang keinginan saya menyusui langsung. Alhamdulilah, beliau sangat mendukung keinginan saya, bahkan saya diberi kursus singkat posisi dan pelekatan menyusui yang benar. Ingin mendapat penguatan sekali lagi, saya membuat janji konsultasi dengan Mbak Mia. Makin kuatlah keyakinan saya untuk menyusui bayi saya karena Mbak Mia banyak memberikan informasi yang tidak saya ketahui sebelumnya bahwa ibu yang positif H tetap dapat menyusui dan IMD (horeeee), dengan berbagai syarat, antara lain; saya tetap mengkonsumsi ARV dan bayi juga mengkonsumsi ARV selama 1 bulan, no mixed feeding atau selama ASI, tidak boleh mencampurnya dengan susu formula dan hindari luka pada payudara agar bayi tidak menelan darah saya yang notabene mengandung virus HIV.
Naaahhhh, PR berikutnya adalah bagaimana agar PD saya tidak lecet atau luka? Karena kebenaykan ibu menyusui memiliki problem yang sama yaitu PD luka dan berdarah akibat pengalaman pertama menyusui. Ooohh, if there is a will, there is a way. Saya cari informasi untuk ikut kelas edukASI yang diadakan AIMI secara rutin. Saya dan suami ikut kelas edukASI tentang persiapan menyusui pre natal dan post natal.
Selesai kah perjuangan saya? Tentu tidak! Di antara orang-orang hebat yang mendukung saya, ada orang yang tidak mengijinkan saya menyusui yaitu dokter spesialis penyakit dalam tempat saya berkonsultasi penyakit saya. Dia dokter perempuan, waktu saya mengutarakan keinginan saya ingin menyusui langsung di sesi kontrol terakhir sebelum saya melahirkan, dokter tersebut dengan sangat keras melarang saya menyusui bahkan dia (mungkin) menganggap saya tidak punya cukup uang untuk membeli susu formula. Dia juga ‘menakut-nakuti’ saya bahwa penelitian-penelitian yang pernah dipaparkan Mbak Mia dan dr. AP itu belum tentu valid. Gosh… saya limbung, saya kalut, saya down. Saya langsung mengirimkan email ke Mbak Mia dengan derai air mata. Lagi-lagi Mbak Mia menguatkan saya. (terima kasih Mbak Mia).
Pilihan tetap ada di tangan saya, apakah ingin tetap menyusui atau tidak. Sekali lagi kebesaran ALLAH SWT ditunjukkan, tanpa sengaja saya dipertemukan oleh organisasi yang semua anggotanya perempuan, dengan status sama dengan saya yaitu IPPI, Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Setelah berkonsultasi dengan beberapa anggotanya, saya makin yakin untuk menyusui.
Hari kelahiran jagoan kecil saya tiba, deg-degan melanda. Setelah 1,5 jam berada di ruang operasi dan sukses IMD, mulailah perjuangan menyusui dimulai. Alhamdulilah saya dianugerahi ASI yang melimpah. Tapiiiiiii… praktek tidak semudah teorinya ibu-ibu sekalian. Walaupun saya sudah ikut kelas edukASI, sudah konsultasi pribadi dengan Mbak Mia dan dr. AP daaan walaupun saya sudah berusaha memposisikan bayi saya sesuai teori tapi tetap saja saat menyusui terasa sakit dan puting saya lecet (huwaaaaaaa). Tidak hilang akal, saya minta tolong Mbak Mia untuk mencarikan saya donor ASI sehingga bayi saya tetap mendapat ASI sambil menunggu PD saya kembali normal. Ternyata salah satu penyebab puting saya lecet karena bayi saya memiliki ‘tongue tie’. Saya langsung membawanya ke dr. AP agar segera diinsisi. Setelah diinsisi, Alhamdulilah, menyusui tidak nyeri lagi bahkan sang bayi dapat lebih optimal menghisap ASI dan dalam waktu 1 bulan, berat badan bayi saya naik 2 kg. Subhanallah.
Setelah itu saya masih terus merasa gambling atas kesehatan bayi saya. Memang setiap menyusui saya selalu khawatir bekas lecet puting saya mengeluarkan darah, jadi sehabis selesai menyusui, saya menyekanya dengan tissue untuk memastikan tidak ada bercak merah. Dan bayi saya harus melakukan cek darah di usia 1 bulan, untuk memastikan dia sehat dan tidak terinfeksi virus saya. Menunggu ia berusia 1 bulan bagaikan satu tahun, plusss ada rasa deg-degan dan (kadang) airmata saat menyusui. Jujur, saya masih khawatir kalau pilihan saya untuk menyusui ini malah berakibat fatal untuk kesehatannya.
Saatnya mengambil hasil tes darah. Amplop berwarna kuning itu terlalu menakutkan untuk saya buka. Saya meminta suami untuk membukanya. Perasaan semakin kacau karena saya tidak sanggup menghadapi kenyataan kalau terjadi apa-apa dengan bayi saya. Alhamdulillah, hasil dari pemeriksaan darah bayi saya menunjukkan kalau ia NEGATIF alias SEHAT WAL AFIAT. Saya menangis, saya berterima kasih pada ALLAH SWT, saya langsung bbm Mbak Mia dan sms dokter kandungan saya untuk menyampaikan berita gembira dan mengucapkan terima kasih atas dukungannya selama mendampingi saya.
Saya memberi bayi saya ASI eksklusif selama 6 bulan sesuai rekomendasi WHO untuk ibu dengan status positif H disarankan hanya menyusui eksklusif selama 6 bulan. Mbak Mia pun tetap memantau dan mendukung saya dari kejauhan… hehehehe. Alhamdulilah ia sehat, jarang sakit, tidak pernah diare, kalaupun pernah pilek karena ia memang alergi terhadap debu seperti ayahnya dan berat badannya sesuai dengan usianya. Bayi saya akan dites ulang lagi saat usianya 18 bulan, saya berharap dia tetap sehat-sehat saja. Menurut dokter yang menangani saya, biasanya kalau di tes pertama sudah negatif, Insya ALLAH tes kedua pun hasilnya akan negatif. AMIN.
Saya sangat berterima kasih kepada orang-orang hebat yang telah membantu saya dengan tulus. Mbak Mia, Dr. AM, SpOG, Dr. AP, SpA, Dr. R, SpA, Dr. K, SpA, AIMI dan IPPI terutama pada ALLAH SWT karena dengan rencanaNYA, saya dipertemukan dengan orang-orang hebat ini. Saya selalu yakin.. bersama kesulitan pasti ada kemudahan dan bila ada niat di situ ada jalan. Insya Allah.
-identitas disamarkan untuk menghargai permintaan pihak keluarga-