Saya Memilih Optimis
Ya! Saya sudah menarik garis tegas ketika memutuskan untuk bergabung bersama teman-teman mendirikan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Garis tegas itu untuk memberi batas bahwa saya memilih untuk selalu optimis memandang semua permasalahan yang terkait dengan problem menyusui di Indonesia dan selalu optimis bahwa perjuangan kami semua di AIMI akan menorehkan hasil yang bermakna.
Di tengah kondisi faktual seperti pemahaman yang masih sangat minim mengenai pentingnya menyusui, banyaknya mitos seputar menyusui, kurangnya dukungan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan untuk ibu menyusui, saya dan teman-teman di AIMI memulai perjuangan dari hal yang paling kecil dan paling dekat dengan keseharian kami.
Saya masih ingat, pertama kali Kelas Edukasi AIMI digelar di salah satu toko perlengkapan bayi di Kemang, pesertanya hanya sekitar 10 orang. Tetapi mereka punya niat yang sama, punya sikap optimis yang sama untuk memberikan yang terbaik kepada bayinya.
Begitu juga dengan milis asiforbaby yang saat itu jumlah anggotanya masih 20-an, belum seriuh sekarang tetapi kami coba untuk mendiskusikan kesulitan dan problema lain seputar menyusui dan permasalahan tentang anak lainnya. Tentu saja mengatur lalulintas milis yang masih kecil ini tak seheboh saat ini, milis saat itu begitu personal, beberapa dari kami mengenal sangat dekat dan melanjutkan dengan chatting bisa YM (BBM belum seheboh sekarang:))
Dari milis kecil itulah, AIMI kemudian berdiri. Mengumpulkan beberapa anggota milis bersama Mia, Nia dan Shanty, kami sepakat memulai pergerakan ini. Bagaimanapun kecilnya langkah kami, kalau tidak dimulai pasti tidak berarti. Kami memilih tetap optimis dengan langkah kecil apapun, agar kami bisa menyebarkan dukungan kepada ibu-ibu yang tengah berjuang untuk menyusui anaknya.
Geliat Perjuangan
Mungkin juga karena keoptimisan kami, grafik pertumbuhan kegiatan AIMI luar biasa menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan. Meski berbasis volunteer, sebagian dari kami merangkap pekerja kantoran, pekerja mandiri, dan tetap harus mengurus anak dan suami. Mungkin juga karena high passion kami soal ASI ini yang menggerakkan keajaiban dalam pertumbuhan organisasi ini.
Dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, kami bisa menyumbangkan ide dan pikiran untuk AIMI tanpa imbalan bayaran. Kami senang, kami gembira bisa memberikan waktu yang sedikit, tenaga yang tidak terlalu banyak dan yang paling seru adalah bisa mengajak teman lain yang seide untuk berjuang bersama.
Bukan berarti juga perjuangan ini tanpa tantangan, mulai dari yang kami anggap sebagai “lelucon” sampai yang kami anggap sebagai “motivator” untuk dinamika gerakan organisasi AIMI. Tapi sekali lagi, syukurlah keoptimisan sebagian besar dari ibu-ibu pengurus AIMI ini lebih cepat menular ketimbang sebersit luka-luka kecil yang menggores sepanjang perjalanan AIMI dari lahir hingga saat ini.
Ada yang menganggap AIMI hanya berjuang di “kelasnya”, kumpulan ibu “kosmopolitan” yang penuh gaya dan tak punya kesulitan untuk menggarap kegiatan menyusui sebagai gaya hidup. Tak bisa dipungkiri, kami memang ada dalam lingkungan kosmopolitan, tentu tidak bisa lepas dari lifestyle yang menjadi keseharian kami. Kalau sekarang kami menggunakan itu sebagai alat perjuangan kami, tentu sah-sah saja. Sekali lagi itu adalah bagian dari taktik kami untuk bisa menyosialisasikan kegiatan menyusui yang poin pentingnya adalah memberikan hak kepada bayi. Tak peduli bayi dari kalangan manapun.
Kami bergerak dari lingkungan terdekat dan kemudian berlari kecil untuk mendekati lingkungan yang lain. Dengan pendanaan yang terbatas, kami mencoba berkreasi mengumpulkan dana semampu kami, sejauh tidak melanggar kode etik yang kami buat sendiri. Beberapa usaha yang tidak sejalan dengan visi-misi AIMI tentu saja tidak bisa memberikan donasi dengan alasan apapun. Dari awal, AIMI berpegang teguh pada integritas yang kokoh untuk tidak tunduk pada perusahaan apapun yang berlawanan dengan visi-misi kami. Kami terlalu kuat untuk bisa dirayu, apalagi dengan mempertaruhkan masa depan anak-anak Indonesia.
Cita-cita kecil yang kemudian terwujud
Menjelang Ulang Tahun AIMI ke 4 ini, disela-sela obrolan kami yang ditingkahi tawa dan teriakan anak-anak, bagaimana kami tak berterima kasih dengan penuh syukur kepada Allah SWT yang meridhoi semua langkah-langkah kecil yang kami kerjakan lewat AIMI. “Dulu kita punya cita-cita, AIMI menjadi rujukan pertama ketika ada yang bingung tentang bagaimana memulai menyusui, media akan menghubungi AIMI ketika masalah menyusui diperbincangkan,” kata saya kepada Nia, mengulang apa yang pernah sampaikan via YM ke Nia 3 tahun lalu (YM terasa kuno sekali ya, heheheh). Nia kemudian menyambung, dulu kita ingin sekali komunitas ini masuk ke edisi minggu koran terbesar di Indonesia dan ternyata cita-cita itu kesampaian juga di tahun ini.
Alhamdulillah berbagai cita-cita kecil sudah tercapai, lalu bagaimana dengan cita-cita besarnya? AIMI ingin menambah jumlah ibu menyusui di Indonesia ini semakin banyak, semakin banyak bayi dan anak-anak Indonesia yang mendapatkan haknya. Tentu saja tak ada kata berhenti berjuang bagi kami. Berbagai kegiatan sosialisasi di semua kalangan, mulai dari ibu-ibu hamil, pekerja kantoran, ustad/ustadzah sudah dijelajahi oleh AIMI. Menghadiri beberapa konferensi internasional dan mengadakan konferensi ASI internasional One Asia Breastfeeding Forum juga sudah kami kerjakan.
Kami semakin optimis! Kami membantu bangsa ini untuk mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Kalau Anda punya keoptimisan yang sama, mari bergabung dengan AIMI! Masih banyak yang harus kita kerjakan agar semakin banyak bayi dan anak-anak Indonesia yang bisa memperoleh haknya mendapatkan ASI.