Penulis: Amanda Tasya – Kepala Divisi Advokasi AIMI
“Apa kabar baby adis? Sekarang minum nya apa? ASI saja? Bagus bu, ASI memang yang terbaik. Tapi nih, kalau merasa ASI-nya kurang kita punya produk XYZ lhoo, dilengkapi AA dan DHA komposisinya menyerupai ASI lho, boleh dicoba ibu…”
3 bulan kemudian
“Gimana adek adis keadaannya? Wah ibu udah mau masuk kerja? Boleh dicoba lho produk kami XYZ. Jadi selama ibu bekerja, adek adis kasih XYZ saja, sama kok kandungannya dengan ASI”
3 bulan selanjutnya….
“Waah selamat bu, adek adis sudah mau makan yaa, dicoba bubur susu KLM nya bu, daripada repot-repot bikin, ini udah lengkap banget kandungan gizinya. ASInya masih juga? Wah udah waktunya dicampur, kandungan gizi ASI udah berkurang, coba XYZ plus ya bunda.”
Kejadian ini terjadi 5 tahun lalu. Tanpa henti, dengan agresifnya, marketing perusahaan susu formula terus menghubungi saya melalui telepon. Sayangnya, saat itu saya belum tergabung dalam AIMI. Saya belum tahu bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran pemasaran pengganti ASI. Jadi saya biarkan saja.
Untungnya lingkungan mendukung saya memberikan ASI hingga 2 tahun, sehingga tidak terpikir sama sekali untuk beralih ke susu formula. Di luar sana, banyak yang tidak seberuntung saya dengan didukung lingkungan sekitar, sehingga tak jarang para ibu menjadi goyah dan termakan hasutan beralih ke susu formula.
Apa yang salah?
Promosi secara langsung dengan menghubungi ibu yang baru mempunyai anak sebenarnya dilarang menurut ‘The International Code of Marketing of Breastmilk Subsitutes‘ yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 1981, selanjutnya kita sebut Kode WHO.
Pasal 5.5 Kode WHO secara jelas menyebutkan: “5.5 Personil pemasaran, dalam kapasitas bisnisnya, hendaknya tidak melakukan kontak langsung atau tidak langsung dalam bentuk apapun juga dengan perempuan hamil atau dengan ibu dari bayi atau anak (balita).”
Cakupan Kode WHO ini adalah setiap pemasaran dan praktek terkait lainnya terhadap produk berikut:
- Pengganti ASI, termasuk susu formula.
- Produk susu lainnya, makanan dan minuman termasuk MPASI dalam botol, yang dipasarkan atau direpresentasikan cocok untuk digunakan sebagai pengganti ASI baik seluruhnya maupun sebagian, dengan atau tanpa modifikasi.
- Botol dan dot.
Dikarenakan WHO merekomendasikan menyusui hingga 2 tahun, maka cakupan tersebut juga berlaku untuk produk pengganti ASI hingga anak berumur 2 tahun.
Selain berpromosi langsung, berikut beberapa larangan pemasaran Pengganti ASI oleh Kode WHO dalam memasarkan produk pengganti ASI:
- Dilarang mengiklankan susu formula dan produk lain kepada masyarakat.
- Dilarang memberikan sampel gratis kepada ibu-ibu.
- Dilarang promosi susu formula di sarana pelayanan kesehatan.
- Staf perusahaan tidak diperkenankan memberikan nasihat tentang susu formula kepada ibu-ibu.
- Dilarang memberikan hadiah atau sampel kepada petugas kesehatan.
- Dilarang membuat gambar bayi atau gambar lainnya yang mengidealkan susu formula pada label produk.
- Informasi kepada petugas kesehatan harus bersifat faktual dan ilmiah.
- Informasi tentang susu formula, termasuk pada label, harus menjelaskan keuntungan menyusui dan biaya serta bahaya pemberian susu buatan.
- Produk yang tidak cocok seperti susu kental manis, dilarang dipromosikan untuk bayi.
- Penjelasan tentang penggunaan susu formula hanya dibolehkan untuk beberapa ibu yang betul-betul memerlukannya.
Lalu, mengapa perusahaan susu formula tetap melakukan pelanggaran terhadap Kode WHO itu? Apakah mereka tidak mengetahuinya? Jawabannya TIDAK. Mereka mengetahui secara jelas tentang Kode WHO ini, bahkan pada saat penyusunan kode, mereka dilibatkan. Itu merupakan salah satu strategi dalam memasarkan produk mereka.
Lihat laporan berikut ini: “as breastfeeding rates are set to increase in the short term, iternational companies should focus on launching new products targeting breastfeeding mothers” Euromonitor International, 2008.
“…manufactureres are expected to continue adopting similar strategies to those used in 2008/2009…incorporating their existing products with more ingredients, introducing value-for-money products and promotional efforts to boost volume sales such as offering gifts with certain purchases.” Baby food in Indonesia, Euromonitor International, November 2009.
Jelas disana dijelaskan, bahwa mereka dengan sengaja melakukan aktivitas-aktivitas promosi untuk meningkatkan penjualan produk pengganti ASI, dengan target yang sangat jelas, yaitu Ibu menyusui. Dan negara berkembang seperti Indonesia menjadi sasaran yang ‘empuk’, karena masih banyak orang tua dan ibu yang belum terinformasi tentang manfaat menyusui dan bahaya susu formula.
Lalu, bagaimana Peraturan di Indonesia?
Khusus mengenai pemasaran pengganti ASI, Indonesia telah mengadopsi sebagian dari Kode WHO dalam KEPMENKES NO 237/MENKES/SK/1997 tentang PEMASARAN PENGGANTI AIR SUSU IBU. Dalam Kepmenkes ini, diatur mengenai pemasaran Pengganti ASI dari 0-12 bulan, dengan ketentuan-ketentuan yang sama dengan Kode WHO.
Selain mengenai pemasaran, sebenarnya saat ini peraturan lokal yang melindungi hak anak mendapatkan ASI dan hak ibu untuk memberi ASI di Indonesia sudah cukup banyak, diantaranya:
- Pasal 83 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Pasal 22 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Pasal 49 ayat (2)UU No. 49 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Pasal 128, 129 dan 200 UU No 36/2009 tentang KESEHATAN
- UU NO. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- UU No.7/1992 tentang Pangan
- PP NO. 69/1999 tentang LABEL DAN IKLAN PANGAN
- Keppres No. 36 tahun 1990 tentang PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD (KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK).
- KEPMENKES NO 450/MENKES/SK/VI/2004 tentang PEMBERIAN ASI SECARA EKSKLUSIF DI INDONESIA
- PERATURAN BERSAMA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DAN METERI KESEHATAN NO 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 DAN 1177/MENKES/PB/XII/2008 tahun 2008 tentang PENINGKATAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU SELAMA WAKTU KERJA DI TEMPAT KERJA
- PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NO. HK. OO.O5.1.52.3572 tgl 10 Juli 2008 TENTANG PENAMBAHAN ZAT GIZI DAN NON GIZI DALAM PRODUK PANGAN
- KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NO. 435/2008 TENTANG PEMBERIAN ASI SECARA DINI (INISIASI MENYUSU DINI) BAGI IBU MELAHIRKAN DI PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
- PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NO. HK.00.05.52.0085 TENTANG PENGELOMPOKAN PRODUK FORMULA BAYI DAN FORMULA LANJUTAN
- PERDA KABUPATEN KLATEN NO. 7/2008 TENTANG INISIASI MENYUSU DINI DAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF.
- PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NO 03 TAHUN 2010 TENTANG PENERAPAN SEPULUH LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN MENYUSUI
Adakah Sanksinya? Dengan adanya UU kesehatan terbaru yaitu UU No. 36 tahun 2009, pemberian ASI eksklusif sangat dilindungi, terbukti dengan adanya 3 pasal yang mengatur tentang pemberian ASI, salah satunya mengatur tentang ancaman pidana bagi mereka yang menghalangi ibu melakukan program asi eksklusif.
Pasal 128
- Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
- Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
- Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.
Pasal 129
- Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
- Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Belakangan, terdapat beberapa kekhawatiran bahwa sanksi pidana dalam UU Kesehatan ini dapat menjaring seorang ibu yang tidak menyusui bayinya. Bila dilihat dari unsur-unsur pasal tersebut, yang dapat terkena ancaman sanksi pidana pasal 200 adalah keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang menghalangi si IBU untuk menyusui eksklusif bayinya. Penghalangan tersebut dapat berupa tidak diberikan waktu menyusui maupun tidak disediakan fasilitas khusus untuk melakukan kegiatan menyusui. Sehingga dalam hal ini, justru pasal ini MELINDUNGI ibu untuk melaksanakan program ASI Eksklusif, bukan malahan mengancamnya dengan hukuman pidana bila tidak melaksanakan program ASI eksklusif.
Undang-undang ini baru ditetapkan tahun 2009 dan saat ini Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya masih dalam proses, diharapkan pada akhir 2010 sudah ditetapkan, sehingga sosialisasi akan undang-undang ini masih terus berjalan.
Penegakan hukum memang membutuhkan waktu dan membutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk didalamnya mengawasi setiap pelangaran yang dilakukan oleh perusahaan susu formula dalam memasarkan produknya.
AIMI yang sejak awal berdiri pada awal tahun 2007 telah menghimbau masyarakat untuk melaporkan setiap dugaan pelanggaran promosi susu formula melalui e-mail ke lapor[at]aimi-asi.org. Untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran, tentunya kami memerlukan bukti-bukti yang cukup, untuk itu sertakan bukti pelanggaran seperti foto, rekaman suara, potongan iklan maupun bukti lainnya yang dapat mendukung kami mengawasi setiap praktek pemasaran pengganti ASI yang tidak etis.
Mengawasi praktek pemasaran pengganti ASI adalah kewajiban setiap orang, dengan demikian, diharapkan ibu dapat terlindungi dari praktek pemasaran pengganti ASI yang memberikan informasi yang salah tentang menyusui dan mengunggulkan produk pengganti ASI.