Oleh: Kusmayra Ambarwati, Susi Solichatun, Andini Pramono dan Lianita Prawindarti
Ketika bencana melanda seperti banjir, gempa, tanah longsor, atau kebakaran besar, hal pertama yang hilang sering kali adalah rasa aman. Rumah rusak, akses air bersih terganggu, makanan tidak tersedia, listrik padam, dan fasilitas kesehatan susah didapatkan. Di tengah kondisi yang rapuh ini, kelompok yang paling berisiko adalah bayi, terutama mereka yang berusia 0–6 bulan.
Keajaiban yang Tuhan berikan pada kondisi tersebut adalah adanya satu sumber nutrisi dan perlindungan yang tetap hadir untuk para bayi di tengah bencana, siap santap, steril dan aman: Air Susu Ibu (ASI). ASI bukan hanya makanan terbaik untuk bayi, dalam bencana ASI menjadi intervensi penyelamat nyawa bahkan pada situasi paling tidak pasti itu. Pada situasi bencana, ASI terbaik diperoleh dari aktivitas menyusui ibu. Seperti hierarki pemberian nutrisi World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), menyusui menjadi pilihan utama sebelum alternatif lain (ASI Perah (ASIP) Ibu, ASIP yang didinginkan, ASIP yang dibekukan dan seterusnya) diberikan.
Menyusui: Pemberian Nutrisi Paling Aman Ketika Lingkungan Tidak Aman
Menyusui adalah aktivitas pemberian makan paling aman dan paling bergizi untuk bayi, terutama dalam situasi darurat. Bayangkan, ketika akses terhadap air bersih, listrik, atau makanan terbatas, ASI tetap tersedia sebagai sumber makanan yang bersih dari kuman, dan penuh antibodi.
Sementara itu, pemberian susu formula menjadi sangat berisiko dalam kondisi darurat karena air bersih tidak selalu tersedia, peralatan sulit dibersihkan dengan benar, pengenceran sering tidak tepat, serta distribusi bantuan bisa terputus kapan saja. Belum lagi, kondisi ini dapat membebani pencernaan bayi dan meningkatkan risiko infeksi.
Studi menunjukkan bahwa menyusui dapat mengurangi risiko kematian bayi secara signifikan di daerah terdampak bencana. Sebuah penelitian dari The Lancet tahun 2022 bahwa memulai menyusui sejak awal dapat mengurangi risiko kematian bayi secara signifikan. Risiko bayi meninggal pada usia 7 hari sampai 1 tahun menurun sebesar 26% jika bayi mulai disusui, Untuk bayi usia 7 sampai 27 hari, penurunan risikonya bahkan lebih besar, yaitu 40%. Pada bayi usia 28 hari sampai 1 tahun, risikonya turun 19% bila mereka mendapatkan ASI sejak awal (Ruowei et al., 2022). Dalam konteks bencana, angka ini bisa menjadi lebih besar karena lingkungan makin tidak aman bagi bayi.
Tantangan Menyusui Saat Bencana
Namun, menyusui dalam kondisi darurat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ibu mungkin mengalami stres berat, kehilangan tempat tinggal, kekurangan makanan, bahkan kehilangan anggota keluarga. Belum lagi gangguan logistik dan kurangnya privasi yang membuat proses menyusui jadi makin menantang.
Lebih buruk lagi, pada banyak situasi darurat, bantuan kemanusiaan justru datang membawa susu formula dalam jumlah besar. Padahal, dalam kondisi tanpa air bersih dan sanitasi, pemberian susu formula bisa menjadi senjata makan tuan yang meningkatkan risiko diare, malnutrisi, dan infeksi. Situasi ini menegaskan bahwa dukungan menyusui tidak boleh diabaikan dalam manajemen bencana.
Sistem Dukungan Itu Penting
Di tengah kekacauan bencana, saat ibu-ibu mencari tempat aman untuk memeluk bayinya, ada satu hal yang sering terlupa: dukungan agar mereka bisa terus menyusui. Di sinilah pentingnya membangun sistem dukungan menyusui yang tangguh, bukan sekadar membagi bantuan, tapi menyiapkan relawan, tenaga kesehatan, hingga kebijakan yang benar-benar melindungi ibu dan bayi.
UNICEF dan WHO menjelaskan perlunya tim khusus Infant and Young Child Feeding in Emergencies (IYCF-E) di setiap respons darurat. Tim ini menjadi “garda depan” yang menjaga praktik menyusui tetap aman, memberikan dukungan emosional bagi ibu, serta memastikan bantuan diberikan secara tepat. Mereka memastikan sanitasi memadai agar ibu dapat menyusui dengan bersih, menyediakan kain atau gendongan untuk kenyamanan ibu, dan mengatur distribusi MPASI sesuai usia agar tidak dibagikan sembarangan kepada bayi yang masih membutuhkan ASI eksklusif.
Sebab di tengah pengungsian, ibu tidak hanya butuh logistik. Mereka butuh rasa percaya diri. Menyusui membantu menurunkan stres, menenangkan tubuh, dan menguatkan ikatan dengan bayi. Kekuatan kecil yang sangat berarti di masa paling rapuh. Sayangnya, Tim ini belum maksimal terbentuk di setiap daerah. Perlu koordinasi lintas sektor yang komprehensif terkait eksistensi, konsistensi dan sustainability tim ini untuk siap siaga.
Peran Kita Semua
Mendukung ibu menyusui saat bencana bukan hanya tugas petugas kemanusiaan. Kita semua punya peran: dari pemerintah, relawan, organisasi masyarakat, hingga media. Berikut beberapa hal nyata yang bisa dilakukan:
- Melatih relawan lokal tentang pentingnya ASI dan cara mendampingi ibu menyusui dengan empatik.
- Pastikan ruang aman dan nyaman untuk ibu menyusui di lokasi pengungsian.
- Kendalikan distribusi susu formula agar tidak membahayakan kesehatan bayi dan tidak melanggar Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI.
- Libatkan ayah dan keluarga dalam mendukung ibu secara emosional.
- Dukung relaktasi, yaitu proses menyusui kembali setelah berhenti karena kondisi tertentu.
Investasi Jangka Panjang
Dengan membangun sistem dukungan menyusui yang kokoh, kita sesungguhnya sedang menanam investasi jangka panjang untuk masa depan. Anak-anak yang mendapatkan ASI secara optimal tumbuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi berbagai tantangan hidup. Di tengah krisis iklim dan meningkatnya frekuensi bencana, menghadirkan generasi yang tangguh bukan lagi pilihan saja melainkan kebutuhan. Dan itu semua berawal dari perlindungan sederhana: memastikan setiap ibu dapat menyusui dengan aman, kapan pun, di mana pun.
Ketika bencana menghilangkan rumah, harta, dan rasa aman, ASI tetap hadir sebagai sumber kehidupan yang tidak tergantikan. Ia memberikan nutrisi, perlindungan, kenyamanan, dan harapan bagi bayi maupun ibu. Di tengah kekacauan, menyusui adalah ruang damai yang menghubungkan ibu dan bayi dengan kekuatan, keberanian, dan ketangguhan. Menyusui adalah solusi alami, murah, dan berkelanjutan. Menjadikannya prioritas bukan hanya langkah logis, tapi langkah cinta dan kemanusiaan.
Bantu bayi di tengah bencana agar tetap menyusu pada ibunya.
With Love – AIMI
Referensi:
- Ruowei Li, Julie Ware, Aimin Chen, et al. (2022). Breastfeeding and post-perinatal infant deaths in the United States, A national prospective cohort analysis. The Lancet Regional Health, 387(100094). https://doi.org/10.1016/j.lana.2021.100094
- Gribble, K. D., McGrath, M., MacLaine, A., & Lhotska, L. (2011). Supporting breastfeeding in emergencies: protecting women’s reproductive rights and maternal and infant health. Disasters, 35(4), 720–738. https://doi.org/10.1111/j.1467-7717.2011.01239.x
- IFE Core Group (2017). Infant and Young Child Feeding in Emergencies: Operational Guidance for Emergency Relief Staff and Programme Managers (v3.0). https://www.ennonline.net/operationalguidance-v3-2017
- UNICEF & WHO. (2020). Protecting breastfeeding in humanitarian emergencies: statement. https://www.who.int/news/item/27-05-2020
- Save the Children. (2012). Superfood for Babies: How overcoming barriers to breastfeeding will save children’s lives. https://resourcecentre.savethechildren.net/document/superfood-babies/