Penulis: Nia Umar – Konselor Menyusui dan Wakil Ketua AIMI Pusat
Coba kita perhatikan di lingkungan sekitar kita, lingkungan rumah, pertokoan sampai kendaraan umum. Atau kita juga bisa lihat di media seperti televisi, koran, majalah dan internet. Mana yang lebih sering kita lihat? Gambaran ibu menyusui atau ibu memberikan susu dalam botol kepada bayi atau anaknya?
Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada saya, maka jawabannya adalah saya lebih sering lihat bayi yang diberikan susu melalui botol. Mulai dari yang bayi baru lahir sampai anak-anak usia dibawah lima tahun (bahkan kadang-kadang saya pernah menemui anak usia sekolah) yang masih memegang botol susu kemanapun mereka pergi. Ada yang isi botolnya terlihat seperti susu formula, tapi tidak sedikit yang saya lihat botolnya berisi air putih, teh dan juga susu yang berasal dari susu kental manis (yang sudah jelas-jelas tertulis di kemasannya: “Perhatikan! Tidak cocok untuk bayi.”) Sepertinya ini sudah merupakan hal yang ’biasa’ kita lihat sehari-hari. Padahal jika kita melihat kembali ke beberapa abad yang lampau, nampaknya menyusuilah yang yang ‘biasa’ dilihat.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah semua ibu pada beberapa abad silam tersebut menyusui bayinya? Jawabannya tidak semua, ada segelintir ibu yang tidak menyusui bayinya. Ada yang mempekerjakan ibu susuan (atau dikenal juga dengan istilah wet nurse). Biasanya ibu susuan ini dibayar untuk menggantikan ibu susu yang berhalangan untuk bisa menyusui karena bekerja atau karena profesinya sebagai bangsawan di kalangan elit di Eropa. Bisa dibilang, ibu susuan merupakan profesi yang cukup diminati. Pada masanya, menjadi ibu susuan mirip dengan memberikan layanan katering. Jasa katering yang biasa dipakai bangsawan dan kerajaan memiliki tarif berbeda dengan katering untuk rakyat biasa. Mirip dengan status ibu susuan yang juga bergantung pada anak siapa yang disusuin. Semakin tinggi derajat bayi yang disusui, maka semakin tinggi kelas si ibu susuan, walaupun tujuannya sama: memberikan nutrisi dan kepuasan bagi pelanggan akan ASI.[1. Palmer, G. The Politics of Breastfeeding, 1988. p. 134]
Ada satu kisah yang sangat menarik juga mengenai ibu susuan dan merupakan salah satu ibu susuan yang ternama di tahun 1831, Judith Waterford. Di usianya yang ke 81 tahun, dia menunjukkan bahwa dia masih bisa menyusui dan memerah ASInya. Dia menyusui enam anaknya sendiri, delapan anak susuan rutin dan banyak lagi anak-anak teman dan tetangganya. Bahkan yang paling kita juga sering dengar kisahnya adalah Halimatus Saadiah yang menyusui Nabi Muhammad SAW dan ada juga kisah Naomi di kitab Perjanjian Lama yang menyusui kembali cucunya agar Ruth, ibu dari bayinya, bisa ikut berperang setelah suaminya terbunuh.[2. Groskop, Viv. Not your mother’s milk]
Jadi saya kembali ke pertanyaan awal, mengapa sekarang, setelah ribuan tahun manusia yang tergolong mahluk mamalia yang bertahan hidup beribu-ribu tahun lamanya karena mendapatkan ASI ibunya setelah kelahirannya, pada beberapa abad terakhir justru malah melihat proses menyusui menjadi hal yang ‘tidak biasa’? Apa penyebabnya dan mengapa ini bisa terjadi?
Awal Mulanya…
Di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dunia diguncangkan dengan adanya Revolusi Industri. Diawali dengan ditemukannya mesin uap oleh George Stevenson. Sejak saat ini, semua orang berlomba-lomba membuat mesin dan mulai meninggalkan peralatan kerja sederhana untuk mulai bekerja di pabrik-pabrik. Perekonomian di Inggris tumbuh pesat dan tidak lama kemudian Inggris menjadi sangat terkenal akan inovasi dan dihormati oleh banyak pihak di dunia. Revolusi Industri pun dengan cepat ditiru oleh banyak negara. Hal ini lalu diikuti dengan lahirnya produk makanan pengganti ASI. Pada tahun 1860an, seorang ahli kimia, Justus von Liebeg menemukan ‘makanan yang cocok untuk bayi’ yang terbuat dari campuran tepung gandum, susu sapi dan bahan-bahan lainnya dan dalam bentuk cair. Pada awalnya penjualan produk ini tidak terlalu bagus dan Liebig selalu merasa terganggu bila ada dokter yang melaporkan bahwa makanan ini tidak mudah dicerna oleh bayi.
Walaupun ada keluhan-keluhan tersebut, namun tidak mengurangi semangat seorang Jerman lainnya yang bernama Henri Nestlé, seorang penyalur makanan yang mengklaim telah menyelamatkan seorang bayi yang menolak menyusu pada ibunya dan menolak makanan lain. Bayi tersebut bisa mengonsumsi ‘Susu Makanan Nestlé’. Pada tahun 1873 saja Nestlé sudah berhasil 500.000 boks per tahun di Eropa, Amerika Serikat, Argentina dan Meksiko.[3. Palmer, G. The Politics of Breastfeeding, 1988. p. 163]
Pada era ini inovasi dalam teknologi dan metode ‘modern’ menjadi tren. Perempuan merasa ‘terbebaskan’ dari tugas alaminya dari penemuan ini dan banyak yang menganggap ini sebagai ‘pembebasan’. Membaiknya industri peternakan juga membuat produksi susu berlebih. Pada tahun 1853 susu kental manis ditemukan dan mulai sejak 1891 sudah muncul modifikasi lain dalam susu sapi sehingga membuat para bayi untuk pertama kalinya bisa meminum susu sapi tanpa melibatkan salah satu pun anggota keluarganya membuat ‘kontak langsung’ dengan seekor sapi. Pada 1897 botol susu mulai dipatenkan dan semua ini diiklankan dan dipromosikan sebagai produk ideal bagi bayi dan dijual langsung ke pasar. Ada pula para dokter yang melayani para pasien-pasien kaya, di mana dokternya membuatkan sendiri ‘formula’ khusus yang cocok untuk bagi setiap bayi. Namun ‘formula’ ini tidak bertahan lama karena sangat rentan dan tidak terlalu mudah diakses, karena campurannya berubah dan dalam beberapa minggu orangtua si bayi harus berulang kali kembali ke dokter tersebut untuk membeli susu dengan ‘formula’ baru.
Ketika para dokter berusaha menyebarkan manfaat ‘formula’ yang mereka buat, para orang tua lebih tertarik dengan makanan bayi yang dijual bebas di pasaran. Makanan ini mudah didapat dan sudah mulai diiklankan mulai dari majalah, jurnal kesehatan dan jauh lebih mudah diolah dibanding kan ‘formula’ yang dibuat khusus oleh dokter anak. Para produsen ini menyadari kelemahan ‘formula’ yang dibuat oleh para dokter dan mulai menggandeng dokter dalam memasarkan produk mereka. Pada tahun 1911 seorang dokter bernegosisasi dengan Mead-Jhonson untuk membuat formula yang dia miliki bernama Dextri-Maltrose dan produk ini dites pada bangsal bayi di New York Post-Graduate Hospital. Sejak saat itu pulalah para dokter mulai merekomendasikan merek-merek tertentu untuk diberikan kepada bayi. Kedekatan hubungan antara para dokter dan produsen di Amerika Serikat inilah yang akhirnya dijadikan model dan strategi pemasaran produk makanan pengganti untuk para bayi di belahan dunia lain.
Kemajuan teknologi dalam memproses makanan yang terbuat dari susu (termasuk membuat susu menjadi dalam bentuk bubuk) memudahkan transportasi dan distribusinya. Tidak lama setelah perang dunia kedua, pemberian susu botol menjadi metode yang lazim dilakukan di Amerika Serikat dan sebagain negara-negara di Eropa. Persentase menyusui menurun drastis hingga setengahnya mulai dari tahun 1946. Pada tahun 1967 hanya 25% bayi di Amerika Serikat yang dilahirkan di RS yang mendapatkan ASI.[4. Jellife, Human Milk in the Modern World, 1978, p. 189] Hal ini mengakibatkan banyak ibu tidak bisa menyusui bayinya dan menyulitkan para ibu untuk bisa menyusui. Hanya sedikit ibu yang masih bisa menyusui dan inipun jika mendapatkan dukungan dan bantuan yang tepat. Pada tahun 1960an dan 1970an memberikan susu botol kepada bayi sudah menjadi hal yang ‘normal’ dilakukan kepada bayi.[5. Palmer, G. The Politics of Breastfeeding, 1988. p. 178]
Apa yang ‘Biasa’ Belum Tentu ‘Benar’
Akibat dari maraknya penjualan susu formula dan menurunnya prosentase bayi yang mendapatkan ASI, ditambah banyaknya riset-riset yang menunjukkan keunggulan ASI, mengakibatkan lahirnya Kode Etik Pemasaran Produk Pengganti ASI oleh WHO. Kode ini bersifat fleksibel di setiap negara dan bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara dan bertujuan melindungi para orang tua untuk bisa memberikan ASI bagi anak-anak mereka. Ada pun isi dari kode etik ini adalah:
Kode etik ini berlaku untuk: Susu buatan untuk bayi, Produk-produk yang digunakan untuk memberi asupan kepada bayi, terutama produk yang digunakan dengan botol susu atau untuk bayi berumur di bawah 6 bulan. Kode etik ini juga berlaku untuk produk botol susu atau dot bayi/empeng.
Berikut adalah 10 poin penting dari Kode Etik tersebut:
- tidak boleh ada iklan dari semua produk dalam kategori di atas, yang ditujukan untuk publik.
- tidak boleh ada contoh gratis untuk ibu-ibu.
- tidak boleh ada media promosi (penempatan media atau iklan) di lokasi fasilitas kesehatan, termasuk pembagian contoh gratis atau contoh yang dimurahkan.
- tidak boleh ada petugas penjualan (sales representatif) dari perusahaan yang menjadi/memberi konsultansi kepada ibu-ibu.
- tidak boleh ada pembagian contoh produk gratis kepada petugas kesehatan.
- tidak boleh ada kata-kata (slogan) atau gambar yang menunjukkan bahwa asupan non-asi itu lebih baik, atau gambar bayi (yang sehat) pada label kemasan produk susu.
- informasi yang diberikan kepada petugas kesehatan hanyalah yang bersifat scientific/ilmiah dan faktual.
- semua informasi tentang asupan non-asi, termasuk pada label kemasan produk, harus mencantumkan manfaat asi, dan risiko serta bahaya yang berkaitan dengan penggunaan asupan non-asi.
- produk yang belum saatnya diberikan kepada bayi, seperti pemanis yang padat, tidak boleh dipromosikan kepada bayi (orang tua atau keluarga dengan bayi).
- untuk menghindari benturan kepentingan, para profesional di bidang kesehatan yang bekerja untuk bayi dan anak-anak, tidak boleh menerima dukungan keuangan dari produsen makanan bayi atau anak.[6. Terjemahan bebas dari kode etik WHO]
Namun sampai saat ini masih bisa kita temukan pelanggaran-pelanggaran kode etik ini. Salah satu yang paling kita sering jumpai adalah: iklan (walaupun iklannya membahas tentang ASI dan tidak memperlihatkan produk tertentu) atau poster di RS, hadiah-hadiah di RS seperti jam dinding, kalender, pulpen. Ini merupakan hal yang ‘biasa’ kita temukan dan dianggap sebagai hal yang ‘biasa’ saja oleh kita. Padahal hal ini melanggar kode etik dari pemasaran produk pengganti ASI.
Kita juga sudah ter‘biasa’ mendengar pertanyaan “oh masih ASI ya Bu? Sudah dibantu susu formula?”. Kenapa saya tulis miring kata ‘dibantu’? Karena dari berbagai sumber dan penelitian menunjukkan bahwa dalam manajemen laktasi yang baik, ketika seorang bayi mendapatkan ‘bantuan’ berupa susu formula, maka sedikit banyak itu akan mengakibat kesulitan menyusui pada si bayi. Padahal banyak orang berpikir susu formula ini hadir untuk ‘membantu’.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat sebuah undangan untuk menghadiri sebuah seminar mengenai ASI. Pada undangan tersebut, terdapat foto ibu sedang memberikan susu botol kepada bayinya. Ketika saya bertanya ke teman-teman saya, jawabannya adalah “yah berpikir positif saja.. jangan-jangan didalam botol itu ASI”. Padahal jika dipikir dengan bahasa komunikasi, foto tersebut jelas-jelas menggambarkan pemberian asupan selain ASI, karena ‘biasa’nya pemberian ASI dilakukan langsung dari payudara ibu. Bisa kita cermati bersama bagaimana kondisi ‘biasa’ ini bisa terputarbalikkan.
Mudah-mudahan seiring dengan kesadaran untuk kembali ke ASI dan majunya teknologi informasi seperti internet, media dan lain-lain bisa membantu para orang tua mengingatkan apa asupan yang sebenarnya ‘biasa’ dan alamiah untuk anak-anak mereka, yakni ASI.
Artikel ini telah dibaca [CPD_READS_THIS] kali.