Inisiasi Menyusu Dini (IMD), pasti semua ibu hamil memimpikan momen ini. Momen dimana orang tua dan bayi bertemu untuk pertama kalinya sambil membiarkan si kecil yang masih berusia beberapa menit itu bersentuhan kulit ibunya. Dimana si kecil, dihantarkan oleh nalurinya, berjuang untuk dapat mereguk cairan kehidupannya. Bayi Baru Lahir Sedang IMDSaat sang ayah mengumandangkan nyanyian surgawi di telinga si kecil. Betapa romantisnya. Namun sayang, momen ini masih tergolong langka bahkan masih banyak tenaga kesehatan yang menganggap ini hanya sebagai tren, bukan kebutuhan, sehingga tidak selalu menjadi prioritas dalam proses persalinan. Sehingga sering kali harus berubah menjadi Menyusui Dini. Namun, apa yang dapat kita lakukan untuk memaksimalkan proses ini?

Sekitar bulan yang lalu, saya berkesempatan menemani proses persalinan seorang teman. Hal ini merupakan momen yang sangat berarti bagi saya, karena saya diijinkan masuk ke ruang bersalin bersama-sama dengan suaminya. Saya, yang bukan anggota keluarga, diijinkan masuk tentu saja merupakan kesempatan yang sangat langka. Salah satu alasan teman saya meminta saya menemaninya dalam proses melahirkan adalah agar dapat membantu proses IMD yang akan berlangsung.

Kebetulan teman saya tersebut melahirkan di sebuah klinik sederhana. Sejak awal, teman saya sudah meminta ijin pada dokternya agar dia boleh ditemani oleh seorang yang lain selain suaminya pada proses persalinan. Dan dokter mengijinkan. Sejak itu juga teman saya telah menyampaikan keinginannya menjalani proses IMD, dokternya pun mengiyakan meski mengakui bahwa di klinik tersebut belum pernah dilaksanakan proses IMD.

Saya tiba di klinik pukul 8 pagi, hari itu hari minggu. Diantarkan oleh suami dan anak saya, kemudian saya bertemu dengan teman saya, sewaktu dia masih cukup segar karena kontraksi yang dirasakan belum cukup kuat, suami dan kedua orang tuanya. Kemudian suami dan anak saya berangkat ke Gereja, tinggallah saya di situ sendirian. Sempat ada rasa canggung di hati saya, merasa asing sendirian di situ karena sejujurnya teman saya ini pun bukanlah seorang sobat dekat, melainkan baru berkenalan beberapa bulan sebelumnya.

Kemudian saya mengirimkan pesan ke beberapa teman konselor, meminta saran mereka tentang tips-tips apa saja yang harus saya perhatikan. Ada satu teman saya yang mengingatkan (thanks kak Sophie..!), bahwa posisi saya di situ adalah tetap sebagai orang asing, jadi saya mesti bisa menarik simpati pihak keluarga teman saya tersebut. Ikuti saja apa mau mereka, karena posisi saya adalah sebagai konselor, bukan tenaga kesehatan. Sehingga saya tidak punya hak untuk memaksakan suatu kondisi apa pun, melainkan hanya boleh menyarankan.

Saya camkan saran itu baik-baik dalam hati saya, lalu berdoa semoga saja saya tidak gegabah. Ini adalah pertama kalinya saya mendampingi seseorang yang akan melahirkan. Malam sebelumnya sampai berkali-kali saya menonton video proses pelaksanaan IMD, meski sebenarnya saya sudah cukup hafal langkah-langkah penerapannya. Tapi rasa ragu tetap saja muncul, karena pada dasarnya saya sendiri belum pernah menjalani proses ini sehingga saya hanya tau teori, tapi tidak prakteknya.

Begitu saya datang, saya langsung dikenalkan kepada pihak keluarga oleh teman saya tersebut. Saya bersyukur sekali karena pihak keluarga sangat ramah dan kami mengobrol tentang apa saja. Mungkin karena suasananya sedang menunggu bayi lahir, maka obrolan yang paling sering adalah tentang nostalgia si ibu saat melahirkan anak-anak mereka. Obrolan ini sangat membantu mencairkan suasana. Lalu percakapan mengalir sampai saya bisa bercerita tentang proses IMD serta apa saja keuntungannya.

Asumsi saya, jika pun saat itu teman saya berubah fikiran untuk alih-alih mengajak saya melainkan ibunya untuk masuk ke dalam ruang bersalin, maka setidaknya ibunya telah mendengar tentang ini dan dapat mengingatkan tenaga kesehatan yang membantu persalinan untuk mengijinkan pelaksanaan proses tersebut. Apalagi kondisi di klinik tersebut memang belum pernah menjalankan proses IMD.

Namun sayang sekali, pendekatan saya terhadap tenaga kesehatan di klinik tersebut sangat kurang. Karena kesibukan saya menjelang kelahiran tersebut, mengakibatkan saya tidak sempat menemani teman saya sewaktu dia kontrol kehamilan. Saya fikir, jika saya sempat bertemu sebelumnya dengan para bidan dan dokter di sana mungkin akan ada kesempatan untuk berbincang sedikit tentang proses IMD yang semestinya karena kebetulan saya juga memiliki video tentang proses pelaksanaan IMD yang diperuntukkan bagi tenaga kesehatan.

Namun, karena hal tersebut terlewatkan ya.. saya hanya bisa berdoa semoga diberi kesempatan untuk menjalani proses IMD. Apalagi pak dokter yang membantu persalinan jarang sekali muncul. Pertama kali, hanya datang waktu kontraksi hebat mulai dirasakan, lalu beberapa saat sebelum melahirkan. Namun sempat juga saya mengajak 2 bidan yang membantu proses persalinan berbincang tentang IMD, namun mereka hanya menanggapi seperti angin lalu.

Sejak awal saya diperkenalkan sebagai sepupu teman saya tersebut, hal ini untuk mencegah penolakan ijin saya untuk dapat ikut masuk ke dalam ruang bersalin. Karena pada umumnya yang boleh masuk hanyalah pihak keluarga, biasanya selain suami adalah orang tua atau kakak/adik pasien.

Pukul 11, sepertinya kontraksi mulai datang lebih cepat hal ini membuat teman saya semakin sulit untuk berkomunikasi. Saya bersyukur telah datang dari awal sehingga suasana sudah menjadi lebih akrab karena saya tiba pada saat teman saya masih dapat berkomunikasi sehingga pendekatan dengan pihak keluarga menjadi lebih mudah.

Pukul 12, teman saya mulai masuk ke ruang bersalin. Saya hanya menunggu di luar, berharap-harap cemas akankah saya diijinkan masuk ke dalam ruangan tersebut? Ternyata setengah jam kemudian saya diijinkan masuk oleh bidan. Saya sangat bersyukur sekali. Saat masuk, saya mendapati teman saya tersebut sendirian, suaminya sedang keluar mengurus sesuatu, dan selang infus untuk induksi mulai dipasang karena pembukaan lambat sekali.

Sebenarnya sejak hari jumat pembukaan sudah terjadi, tapi penambahannya yang sangat lambat. Teman saya pun sempat putus asa karena sudah 2 kali ke klinik tapi tak kunjung melahirkan. Hari sabtu bahkan sepanjang hari sudah beristirahat di klinik tapi tak kunjung bersalin, namun ia memutuskan untuk pulang ke rumah sabtu malam dan kembali lagi ke klinik hari minggu pagi itu.

Pukul 13, sepertinya kontraksi mulai menghebat. Saya hanya bisa membantu teman saya itu dengan memijat-mijat kakinya. Awalnya saya sempat membantu dengan mengelus-elus punggung karena pengalaman saya dulu rasanya cukup nyaman saat punggung dielus-elus namun ternyata teman saya malah merasa terganggu jika dilakukan seperti itu. Maka saya hanya memijat-mijat kakinya untuk membantunya memberikan rasa nyaman.

Awalnya, setiap kontraksi datang, karena suaminya belum ada di sampingnya, dia menggenggam tangan saya erat sekali. Ya saya mengerti bagaimana sakit yang dia alami sehingga saya biarkan dia meremas jemari saya sekeras apa pun yang dia butuhkan. Hingga saat suaminya tiba, peran saya pun akhirnya digantikan. Lalu tubuhnya mulai penuh dengan peluh. Untung saya menemukan sebuah kipas di dekat tempat tidur ruang bersalin tersebut, kemudian saya ambil kipas tersebut dan mulai mengalirkan sedikit angin untuk membantunya merasa sedikit lebih nyaman.

Pukul 14, ternyata bukaan yang terjadi lambat sekali. Teman saya terlihat sangat kecewa. Saya hanya bisa membantu mengingatkan bahwa tak lama lagi dia akan bertemu dengan di kecil, mencoba mengajaknya membayangkan, di sela-sela jeda kontraksi yang berlangsung, betapa bahagia saat si kecil sudah lahir nanti. Sambil suaminya terus membacakan ayat-ayat suci (dzikir) yang menguatkan sang istri.

Pukul 15, menurut bidan bukaan nyaris sempurna dan teman saya diminta untuk mulai ngeden untuk memancing bayi lahir dan tidak lama kemudian dokter pun masuk ke dalam ruang bersalin. Ternyata proses mendorong bayi cukup sulit karena beberapa kali penekanan yang dilakukan terjadi di bagian atas tubuh, bukan di bagian bawah sehingga yang terjadi adalah wajah si ibu merah padam namun bayi tidak terdorong keluar.

Hal ini terjadi sampai beberapa kali, hingga dokter mengusulkan agar bayi divakum saja. Tapi karena saya faham teman saya sangat menginginkan proses persalinan yang alamiah maka saya berusaha membangkitkan semangatnya bahwa dia pasti bisa, sambil terus menyemangatinya dengan mengatakan sedikit lagi bayi akan keluar, kepalanya sudah kelihatan (padahal sebenarnya belum kelihatan), hanya tinggal satu atau dua dorongan si kecil pasti sudah lahir, yah… kalimat-kalimat seperti itu lah.

Proses mendorong bayi kemudian dibantu oleh bidan, yakni bidan membantu mendorong perut dari luar, tapi ternyata tetap saja gagal. Hingga bagian ujung kepala bayi menyangkut cukup lama di ujung rahim. Namun, untunglah semangat teman saya tersebut ternyata besar sekali. Dia terus berusaha, hingga akhirnya berhasil mendorong dengan cara yang tepat dan bayi tampan itu terlahir ke dunia pada sekitar pukul 15.30. pada saat cuaca di luar sedang hujan lebat sehingga suhu di dalam ruang bersalin klinik sederhana tersebut cukup dingin.

Saya pun tak kuasa menahan haru melihat proses kelahiran tersebut, airmata saya tak terbendung tapi saya tersenyum pada teman saya dan memuji semangatnya yang luar biasa. Segera setelah lahir, tali pusarnya dipotong, kemudian dibersihkan seadanya, saya sempat mengingatkan bidan agar tangannya jangan ikut dibersihkan, namun tangan bidan tersebut cepat sekali membersihkan semua bagian tubuh si kecil, termasuk tangannya. Baru kemudian bayi diletakkan di atas dada ibunya. Saya berharap hal tersebut tidak mengganggu insting bayi untuk menemukan puting susu ibunya.

Teman saya terlihat bahagia sekali mendapati bayinya bersentuhan kulit dengan dirinya. Tampan sekali bayi mungil itu. Dia pun menangis kencang di dada ibunya. Sambil ayahnya mengadzankan si kecil melalui telinga kanannya. Saat pak dokter mulai menjahit, terlihat teman saya kesakitan kemudian saya mengingatkan untuk memusatkan perhatiannya pada bayinya saja, dan sejenak dia lupa akan rasa sakit di bawah sana.

Saya lega sekali karena mengira bahwa proses ini akan berlangsung terus yakni bayi akan dibiarkan berdiam di dada ibunya hingga berkesempatan untuk mencari puting susu ibunya sendiri. Tapi ternyata adegan mesra tersebut hanya berlangsung sekitar 5 menit. Bidan langsung mengangkat bayi dari dada ibunya karena merasa bahwa bayi tersebut kedinginan. Teman saya terlihat sangat kecewa saat bayinya diangkat pergi oleh bidan lalu menatap saya tanpa kata-kata.

Tatapan teman saya mengisyaratkan saya untuk mengingatkan bidan untuk ‘mengembalikan’ bayi tersebut ke dada ibunya. Lalu saya menghampiri bidan dan mendapati dia sedang mengolesi seluruh tubuh bayi dengan minyak telon, termasuk tangannya! Melihat hal tersebut saya sedih sekali, satu-satunya bau yang bisa mengantarkan bayi ke puting susu ibunya, yakni aroma tangannya, sudah pudar. Hal ini mengecilkan kemungkinan bayi bisa mencari puting susu ibunya sendiri.

Tapi saya berfikir paling tidak ada kontak kulit, ini yang paling penting. Kemudian saya bertanya lagi kepada bidan apakah mungkin jika bayi dikembalikan ke dada ibunya sekali lagi? Bidan mengatakan, ‘kita coba yah’. Lalu meletakkan bayi kembali ke dada ibunya. Terlihat betapa bahagianya teman saya dan suaminya tersebut. Saya pun sedikit lega hati karena kontak kulit bisa terjadi lagi.

Namun ternyata hal tersebut hanya berlangsung 2 menit. Kemudian bayi tersebut diambil kembali dan kali ini langsung dipakaikan pakaian lengkap dan dibedong. Saat saya bertanya kenapa langsung dibedong, bidan mengatakan bahwa bayi terlihat kedinginan, dia takut bayi terserang hipotermia (suhu badan turun di bawah suhu normal). Sepertinya bidan tersebut sepertinya kurang yakin waktu saya sampaikan bahwa tubuh ibu bisa menghangatkan si kecil dan menghindari bayi dari serangan hipotermia (karena memiliki sistem termoregulator).

Sebelum dibedong, bidan berkali-kali menepuk-nepuk telapak kaki bayi, bunyinya terdengar cukup keras. Namun, saya tidak berani untuk bertanya lagi karena sudah merasakan aura yang tidak menyenangkan dari bidan, tentu saya tidak ingin mencari masalah di situ. Jadi saya memilih diam dan hanya berdiri sisi teman saya sambil berusaha mengalihkan perhatian teman saya dengan bercerita betapa hebatnya dia dalam proses persalinan tadi.

Sebenarnya dalam hati saya berharap pak dokter melakukan sesuatu, namun sepertinya pak dokter tersebut sama sekali tidak berminat untuk mengintervensi apa yang dilakukan oleh bidan tersebut. Mungkin proses persalinan yang berlangsung di klinik tersebut ya seperti itu. Saya selaku pihak luar, yang pada kenyataannya juga bukan merupakan tenaga kesehatan, tentu tidak dapat berbuat banyak. Namun setidaknya saya sudah melakukan kewajiban saya, mengingatkan bidan. Namun jika tidak berjalan dengan baik tentu tidak perlu disesali, hanya dapat diambil hikmah yang bisa dipelajari.

Setelah dibungkus, bayi kemudian disambungkan ke puting susu ibunya. Ternyata itu proses IMD yang mereka maksudkan. Inisiasi Menyusui Dini, bukan Menyusu tapi Menyusui. Seperti dugaan saya, reaksi bayi kurang baik, yakni dia terlihat tidak terlalu berminat membuka mulutnya sehingga proses pelekatan kurang baik. Saat itu usianya sekitar 20 menit. Kemudian bidan memutuskan untuk meletakkan bayi di dalam boks berseberangan dengan tempat tidur ibunya sambil diberi sinar.

Saya merasa kecewa sekali akan peristiwa tersebut, dan teman saya sepertinya melihat kekecewaan di raut wajah saya seraya berkata, ‘terima kasih yah mbak.. yang penting bayiku lahir sehat. Tidak apa tidak IMD.’ Saya jadi malu sendiri, mestinya itu kalimat saya kepada dia bukan sebaliknya. Kemudian dia melanjutkan ‘begini saja rasanya saya sudah senang sekali, loh! anakku ganteng ik, mbak..‘ ujarnya berseri-seri. Akhirnya saya bisa bernafas lega, setidaknya saya bisa sedikit membantunya merasa bahagia pada proses persalinan itu, dan itu sudah cukup buat saya.

Waktu berlalu, kemudian kami sama-sama terdiam, memandangi bayi yang merem-melek di dalam boksnya. Sibuk dengan fikiran masing-masing. Hanya tinggal kami bertiga, saya, dia dan bersama si bayi, di ruang bersalin itu. Para tenaga kesehatan sudah pergi dan suami teman saya itu pun sudah keluar dari situ, mungkin sedang sibuk mengabari sanak famili.

Saat bayi berusia 35 menit, saya mulai melihat dia mengeluarkan air liur. Terbayang di fikiran saya bayi Amelia yang ada di video IMD versi Unicef, yakni saat dia mulai mengeluarkan liur berarti menandakan insting-nya mulai muncul untuk mencari puting susu ibunya. Sesaat setelah itu, jika saja bayi tersebut tidak dibedong, mungkin saya bisa melihat dia mulai menjilati tangannya, yang sangat disayangkan sudah dibaluri oleh minyak telon.

Tapi kemudian saya kembali pada kenyataan, bahwa bayi itu ada di dalam boks bayi, sendirian dengan mata yang merem-melek, dan tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tak lama bidan datang, dan mengintip si kecil dari balik kelambu yang menutupi boks tersebut. Melihat air liur bayi mulai keluar, saya mengira bidan tersebut akan segera membawanya kepada ibunya namun ternyata tidak. Bidan mengambil tisu dan mengelap liur yang membasahi pipi si mungil itu kemudian melenggang pergi dari ruang bersalin tersebut.

Teman saya kemudian berkata, ’mbak, seandainya dia sekarang di sini – menunjuk dadanya – mungkin dia sedang mencari ASI ya?’ Saya menatapnya sambil berusaha tersenyum, sebenarnya rasa hati saya ingin menangis, lalu berkata, ‘mungkin, tapi nanti kalau mulutnya mulai terbuka seperti mencari-cari, kita minta bidan dibawa padamu yah..’. Dia menangguk setuju. Tak lama ibunya teman saya pun masuk ke ruangan dan mengintip cucu ke-empatnya tersebut, rasa bahagia tersirat di wajahnya karena bayi itu adalah cucu laki-laki pertamanya. Senang sekali rasanya berada di antara orang-orang yang berbahagia tersebut sehingga dapat turut merasakan bahagia.

Pada usia sekitar 45 menit, mulai terlihat mulut bayi sering terbuka, saya kemudian mencari bidan dan bertanya apakah mungkin bisa dicoba kembali untuk menyusui? Untunglah bidan setuju dan bayi kemudian dibawa ke dada ibunya namun tetap dalam kondisi dibungkus. Syukurlah naluri menyusunya masih cukup kuat sehingga dengan cepat bayi menangkap puting susu ibunya dan mulai belajar menyusu.

Pertama kali pelekatan kurang tepat karena posisi ibu dirasakan kurang nyaman dan yang memposisikan adalah bidan, bukan ibunya sendiri. Kemudian dicoba kembali, baru mendapatkan posisi pelekatan yang lebih tepat dan bayi terlihat menghisap dengan sangat bersemangat. Syukurlah, paling tidak dalam satu jam pertama, pelekatan yang dilakukan dapat mempertajam naluri bayi terhadap proses menyusu. Meski tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya, tapi dalam setiap kondisi pasti ada hal yang dapat kita ambil hikmahnya.

Berikut beberapa tips singkat yang mungkin dapat dilakukan jika suatu saat diminta untuk menemani seseorang dalam proses persalinan, khususnya jika posisi kita bukanlah dari pihak keluarga atau kerabat dekat, yakni:

  1. Posisikan diri agar dapat diterima oleh anggota keluarga. Upayakan tiba di lokasi saat ibu hamil dalam kondisi masih dapat berkomunikasi untuk mempermudah pendekatan dengan pihak keluarga.
  2. Jika memungkinkan, berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang membantu proses persalinan, namun hati-hati agar tidak terkesan menggurui mereka.
  3. Selama proses persalinan, bantu ibu agar dapat merasa lebih nyaman misalnya dengan memijat kakinya atau mengelus punggung namun jangan lupa untuk meminta ijin terlebih dahulu sehingga tidak membuatnya menjadi kesal jika secara kebetulan cara tersebut malah membuatnya merasa terganggu.
  4. Hanya bisa memberi saran kepada tenaga kesehatan yang mengurusi bayi setelah lahir agar meletakkan bayi di atas dada ibunya sehingga terjadi kontak kulit serta mengingatkan agar tidak membersihkan cairan yang terdapat di tangan bayi. Jangan lakukan apa pun, apalagi sampai mengambil bayi dari tangan bidan tersebut agar diletakkan di atas dada ibunya!
  5. Ingatkan ibu akan bahagianya melihat si kecil berada di atas dadanya dan betapa eloknya rupa si kecil untuk mengalihkan perhatian ibu dari sara sakit pada waktu proses penjahitan. Puji ibu atas semangatnya selama proses pesalinan berlangsung.
  6. Jika kontak kulit tidak mungkin dilakukan, maka ingatkan bidan untuk membawa bayi kembali pada ibunya paling tidak pada saat usia bayi sekitar 40-50 menit untuk mempertajam isting bayi terhadap proses menyusu. Jangan lupa cek proses pelekatan yang terjadi.
  7. Lakukan kunjungan setelah pulang dari rumah sakit/klinik untuk mengecek proses menyusui yang berlangsung, serta untuk memastikan proses pelekatan sudah tepat dan memberikan beberapa informasi praktis tentang menyusui. Hal ini untuk mencegah terjadinya jaundice (bayi kuning) yang biasanya mengakibatkan bayi harus dipisahkan dari ibu dan mengganggu proses menyusui.

Semoga sharing dan informasi ini bermanfaat yah, agar semakin banyak ibu yang percaya diri karena mendapatkan pendamping yang bisa membantu memantapkan proses menyusui.

Salam ASI.


Terdapat pada kategori Informasi pada 11 Mar 2009

Informasi Lainnya

Yuk, Berpartisipasi Dukung AIMI

AIMI 15th SEHATI Virtual Run & Ride

MengASIhi x COVID-19