Penulis: Lianita Prawindarti - Konselor Menyusui AIMI


Catatan:

Tulisan ini BUKAN bertujuan mendukung perkawinan di bawah umur. AIMI yang merupakan sebuah organisasi pendukung ibu menyusui dan Penulis sebagai konselor menyusui berpendapat bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan di saat kedua pasangan siap secara psikologis dan fisik, dengan faktor usia menjadi salah satu pertimbangan utama.

Secara pribadi, Penulis mendukung upaya untuk meninjau kembali regulasi mengenai usia minimum perkawinan menjadi setidaknya 20 tahun untuk perempuan. Risiko hamil dan melahirkan di usia yang terlalu muda dapat memperbesar berbagai risiko kesehatan seperti angka kematian ibu dan bayi serta risiko stunting pada bayi/balita.

Namun demikian, mengingat signifikannya angka perkawinan muda di Indonesia, kelompok ibu di bawah umur ini adalah salah satu kelompok rentan yang mesti mendapatkan dukungan khusus dari semua pihak, termasuk dari pada penggiat menyusui. Hubungan komunikasi yang baik dengan orangtua dan keluarga, pondasi pendidikan agama, serta edukasi mengenai seksualitas dan reprodusi yang tepat bagi remaja yang di dalamnya memasukkan edukasi mengenai ASI dan menyusui dapat menjadi upaya menekan angka perkawinan dini. Mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur adalah tanggung jawab kita bersama. Namun membantu dan mendukung mereka yang sudah terlanjur menjalani perkawinan dini atau memiliki anak di usia teramat muda juga perlu mendapatkan perhatian tersendiri.


Latar Belakang 

Pekan Menyusui Sedunia yang jatuh di setiap minggu pertama bulan Agutus, peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli serta tayangnya film edukasi “Dua Garis Biru” karya Gina S Noer mendorong Penulis untuk menyelesaikan tulisan lama tentang dukungan menyusui bagi teen mothers atau ibu di bawah umur (Catatan Penulis: Definisi “di bawah umur” yang digunakan dalam tulisan ini berlaku untuk kategori perempuan yang melahirkan anak pertama di bawah usia 20 tahun).

Sejalan dengan tema Pekan Menyusui Sedunia atau World Breastfeeding Week/WBW 2019 mengenai pemberdayaan orangtua, maka para ibu muda di bawah umur beserta pasangannya menjadi salah satu kelompok rentan yang perlu mendapat perhatian khusus agar lebih berdaya menyusuinya bayinya. Dukungan untuk kelompok ini juga mesti diberikan pada keluarga besarnya, sebagai jaringan sosial terdekat bagi pasangan muda ini.

Kenapa topik ini perlu diangkat menjadi satu bahasan yang terpisah dari dukungan menyusui secara umum?

Pertama, signifikannya angka perkawinan dini dan potensi perkawinan dini di Indonesia. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 menyebut ada sekitar 11,1% anak perempuan pernah menikah di bawah usia 18 tahun. Angka ini meningkat menjadi 11,5% dalam hasil Susenas 2017. Faktor kemiskinan, norma sosial serta dorongan tokoh adat/agama setempat sering menjadi alasan kuat di balik perkawinan usia dini. Walaupun statistik kehamilan remaja (umur 15-19 tahun) menurun dalam dua dekade antara 1997-2017 [1], namun potensi perkawinan usia dini justru meningkat di negeri ini. 

Kedua, ibu yang kehamilan pertamanya terjadi di bawah usia 20 tahun berpeluang lebih besar melahirkan bayi yang prematur atau bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) karena banyak remaja yang hamil memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kategori underweight. Sementara bayi yang lahir dengan BBLR berkontribusi sekitar 20% terhadap kejadian stunting [2]. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Malang menunjukkan bahwa balita yang lahir dari ibu yang hamil pada usia remaja, 3,86 kali lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang lahir dari ibu yang menikah di usia normal [3]. Sehingga usia ibu pertama kali hamil menjadi salah satu faktor penentu pada tingginya angka kejadian balita stunting.

Menurut data Susenas 2017, terdapat 23,79% perempuan Indonesia hamil pertama kali di usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-18 tahun, dan 6,2% di bawah usia 16 tahun. Itu artinya, setengah dari perempuan di Indonesia mengalami kehamilan pertama di usia muda/remaja. Meskipun UU Perkawinan 1974 Pasal 7 (1) menyebut bahwa usia minimum perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun, namun angka ini dinilai terlalu rendah jika dilihat dari aspek kesiapan fisik dan psikologis perempuan untuk berkeluarga dan memiliki anak. Ketentuan ini juga berbenturan dengan isi UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa siapapun yang berumur di bawah 18 tahun masih dikategorikan anak-anak. Berita baiknya adalah pada bulan Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun demikian, MK tidak menetapkan batas minimal menikah yang harus dipenuhi mempelai perempuan. Hakim Konstitusi menyerahkan ke DPR untuk membahas berapa batas usia minimal perkawinan yang dinilai ideal.    

Ketiga, karena masalah menyusui yang dihadapi para ibu di bawah lebih kompleks daripada ibu-ibu lain pada umumnya. Apa yang menjadikan masalah menyusui bagi para ibu muda di bawah umur menjadi lebih kompleks?

Masalah pertama, para ibu di bawah umur ini biasanya masih sangat mengandalkan arahan dan informasi dari keluarga, terutama orangtua kandungnya. Malah banyak ibu di bawah umur yang menyerahkan perawatan bayinya kepada keluarganya. Jika nenek si bayi berhasil menyusui, maka kemungkinan besar sang nenek juga bisa mengarahkan si ibu muda untuk sukses menyusui. Namun jika sebaliknya, maka kemungkinan gagal menyusui juga menjadi lebih besar. Ketika sang ibu muda tidak pernah menyaksikan anggota keluarganya menyusui, maka niatnya untuk menyusui juga lebih rendah [4]. Kenyataannya, tak jarang ibu muda ini sama sekali belum pernah melihat ada anggota keluarganya yang menyusui. Tidak ada role model ibu menyusui di dalam keluarganya. Breastfeeding is not a family norm. Menyusui bukanlah sebuah norma yang wajar dalam keluarga, sehingga memberikan formula dianggap sebagai satu satunya pilihan yang wajar. 

Masalah kedua, umumnya pada ibu muda dan pasangannya belum memiliki kemampuan dan inisiatif untuk menyaring informasi yang tepat, termasuk mengenai menyusui dan kesehatan bayi. Sehingga inisiatif untuk bertemu tenaga kesehatan dan konselor menyusui atau mengikuti kelas persiapan menyusui juga menjadi lebih rendah. Ibu di bawah umur seringkali masih malu dan ragu mencari informasi. Bukan hanya tidak tahu mesti bertanya ke siapa, tapi mendatangi fasilitas kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah bagi mereka. Para pasangan muda ini seringkali luput dari target sosialisasi menyusui. Kita tidak bisa berharap mereka sukarela duduk berbicara dari hati ke hati dengan konselor menyusui atau menghadiri sesi sosialisasi/kelas persiapan menyusui. Hadir di sesi sharing menyusui yang dihadiri para pasangan yang berbeda usia dengan mereka juga dapat menjadi tekanan psikologis tersendiri. Kelihatan hamil oleh publik di usia sangat muda sudah merupakan tekanan berat bagi para ibu di bawah umur. Apalagi kemudian mesti menyusui kapanpun di manapun. Stigma negatif lingkungan menambah tekanan bagi mereka untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan. Jadi walaupun akses layanan kesehatan dan konseling sudah tersedia dalam jangkauan sekalipun, namun belum termanfaatkan secara optimal oleh kelompok ini.

Meskipun Penulis belum menemukan data yang representatif untuk Indonesia, kajian di beberapa negara menunjukkan bahwa angka menyusui pada ibu muda di bawah umur sangatlah rendah. Di Inggris misalnya, hanya 7% dari para ibu yang berusia di bawah 20 tahun yang menyusui eksklsuif hingga usia 6 bulan [5]. Padahal di Inggris para ibu muda ini telah terpapar informasi dari tenaga kesehatan mengenai manfaat menyusui. Namun, tekanan norma sosial, faktor harus kembali ke sekolah, faktor malu karena menyusui di publik, serta tidak adanya role model ibu muda yang menyusui membuat para ibu muda ini memilih untuk memberikan formula [6]. Image menyusui di tempat umum sendiri masih banyak yang dipandang negatif di berbagai budaya, apalagi ketika yang menyusui masih berusia sangat muda.  

Masalah ketiga, ayah si bayi yang semestinya menjadi pendukung utama juga belum memiliki kapasitas mental yang cukup untuk memberikan dukungan kepada pasangannya. Para ayah yang usianya juga masih di bawah umur tentunya menghadapi kesulitan yang berlapis dalam menjalani peran ganda sebagai partner/suami dan ayah baru. Mereka belum dapat membantu para ibu muda ini untuk menghadapi tekanan sosial dalam mengasuh bayi dan menyusui.

Masalah terakhir yang juga penting untuk disoroti adalah bahwa remaja menjadi salah satu kelompok rentan dan mudah terpengaruh oleh kekuatan iklan dan marketing, terutama iklan formula. Mengingat karakter usianya, kalangan remaja adalah salah satu kelompok target utama industri iklan. Ketika remaja menjadi ibu, maka kelompok ini juga sangat rentan terpengaruh oleh iklan formula dan produk-produk untuk ibu dan bayi. Kondisi ini mesti diimbangi oleh strategi pemasaran sosial mengenai manfaat ASI dan menyusui bagi remaja, bahkan untuk mereka yang tidak menjalani perkawinan usia muda [7]. Edukasi bahwa ASI adalah asupan terbaik bagi bayi sudah dapat dikenalkan sejak anak berusia balita dan Sekolah Dasar. Edukasi mengenai anatomi dan sistem reproduksi manusia yang diberikan jelang masa pubertas mesti diberikan oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Edukasi ini juga mesti memasukkan konten ASI dan menyusui mengingat kehamilan, melahirkan dan menyusui sesungguhnya adalah satu paket yang tidak dapat dilepaskan satu dari yang lain. 


Menjadikan Menyusui Sebagai Pintu Masuk Pemberdayaan Orangtua

Menyusui bukan hanya menekan angka kematian bayi serta mencegah stunting pada anak yang lahir dari para ibu di bawah umur. Keberhasilan menyusui sebetulnya berperan besar dalam meningkatkan kerpecayaan diri ibu muda bahwa mereka sanggup belajar dan berproses untuk memelihara bayinya sendiri bersama dengan pasangannya. Menyusui dapat membuka fungsi ‘kontribusi’ bahwa para ibu ini dapat memberikan bayinya sesuatu yang hanya mereka yang dapat memenuhinya [8]. Peran Inisiasi Menyusu Dini (IMD), rawat gabung dan kontak kulit intensif antara ibu dan bayi sejak awal kelahiran berperan signifikan memperbesar kepercayaan ibu dan bonding antara ibu dengan bayinya. Melibatkan para ayah juga penting di dalam proses awal ini.

Sifat remaja yang kritis dan ingin tahu juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan materi-materi mengenai manfaat menyusui dan kesehatan bayi. Penggunaan sumber-sumber edukasi berbasis multimedia sangat disarankan untuk membangun ketertarikan mereka terhadap ilmu menyusui dan kesehatan bayi. Selain edukasi dan bantuan mengenai teknik menyusui yang efektif, afirmasi positif untuk percaya pada kemampuan tubuhnya untuk memproduksi ASI dan menyusui perlu disampaikan secara berkesinambungan. Konsep ini relevan dengan metode bagaimana menghadapi remaja pada umumnya yang mengalami krisis kepercayaan diri agar memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap kapasitas dirinya sendiri.

Para orangtua muda ini juga perlu diyakinkan bahwa menyusui adalah skill yang dapat dipelajari dengan pendampingan yang tepat. Perasaan kompeten ini yang mesti terus dibangun. Dukungan dan pendampingan menyusui yang tepat sejak hari hari awal dapat juga memperkecil rasa tidak nyaman akibat pelekatan menyusui yang belum efektif di awal-awal menyusui. Para ibu muda ini jauh lebih rentan terhadap rasa sakit dan kelelahan di hari-hari awal setelah kelahiran karena faktor ketidaksiapan fisik dan mental mereka menghadapi proses kelahiran bayi [9]. Mereka yang mendampingi para ibu muda ini di masa awal menyusui mesti siap untuk me-manage ekspektasi para ibu muda yang mungkin menganggap menyusui itu sakit dan melelahkan. 

Di Indonesia, konseling menyusui sudah selayaknya masuk dalam paket layanan antenatal dan postnatal dalam Jaminan Kesehatan Nasional di skema BPJS. Kehamilan, melahirkan dan menyusui sudah selayaknya dianggap sebagai sebuah paket layanan terintegrasi, Sehingga para ibu muda ini juga dapat lebih awal terpapar edukasi mengenai menyusui sejak masa awal mereka memeriksakan kehamilannya. Konseling psikologi dan konseling perencaaan keluarga juga mesti didapat para pasangan muda ini sebelum bayi mereka lahir.

Para konselor menyusui juga perlu dibekali pengetahuan tambahan mengenai dukungan terhadap pada ibu menyusui dengan situasi khusus. Misalnya ibu di bawah umur, ibu dengan disabilitas, ibu dengan riwayat penyakit berat, ibu dengan riwayat kondisi psikologis tertentu, dan sebagainya. Ini dapat menjadikan layanan konseling menyusui menjadi lebih inklusif.

Konseling menyusui bagi para ibu muda ini juga diharapkan dapat membantu mereka untuk tetap sukses menyusui setelah kembali ke bangku sekolah. Edukasi mengenai manajemen ASI perah dengan melibatkan pasangan dan keluarga besar memungkinkan bayi untuk tetap mendapatkan ASI walaupun ibunya kembali bersekolah.


Peran Pemerintah, Keluarga, Sekolah dan Peer Support 

Pemerintah dalam hal ini kementerian-kementerian terkait diharapkan dapat segera merumuskan cetak biru materi pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi siswa pra-remaja dan remaja, baik di sekolah umum maupun lembaga pendidikan berbasis agama seperti madrasah dan pesantren. Di dalamnya mencakup pengenalan organ reproduksi, pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, konsep menstruasi, serta pengetahuan mengenai ASI dan menyusui.

Selain revisi usia minimum perkawinan, diperlukan juga komitmen semua pihak dari level pembuat kebijakan hingga pelaksana untuk mematuhi batas minimum usia penikahan bagi laki-laki dan perempuan. Aturan dispensasi untuk perkawinan anak mesti diperketat mengingat saat ini dispensasi perkawinan yang seringkali diberikan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, masih dianggap terlalu mudah [10].

Pada kasus kehamilan remaja, hal ini biasanya berpengaruh besar terhadap hubungan antara remaja dengan keluarganya. Hal ini sering kali membuat ibu muda merasa terisolasi dalam sistem dukungan. Mereka seringkali tidak dapat mempercayai siapapun. Kondisi inilah yang harus diperbaiki telebih dahulu. Saat dukungan keluarga sudah didapat, maka kita mulai dapat mendukung dan memberdayakan para ibu muda ini.  

Selanjutnya tentu saja harus ada jaminan untuk dapat menyusui/memerah ASI di sekolah dan kampus sehingga keberlangsungan menyusui dapat terus berjalan ketika ibu melanjutkan pendidikannya. Sekolah dan kampus sebagai lembaga pendidikan juga mesti bebenah untuk menjadi lebih ramah menyusui.

Di sisi preventif, lembaga-lembaga pendidikan baik sekolah, madrasah, pesantren, dan kampus juga mesti mengambil peran dalam edukasi mengenai berbagai risiko terkait perkawinan dini. Selain itu edukasi mengenai pentingnya asupan gizi yang baik bagi remaja, khususnya remaja perempuan juga menjadi tugas bersama antara keluarga, tenaga kesehatan, pemerintah dan lembaga pendidikan.

Ketiga adalah peran peer support. Remaja memiliki kecenderungan untuk lebih percaya pada peer-nya ketimbang orangtuanya. Ketika remaja mengalami kehamilan di usia dini, dukungan positif sebetulnya juga bisa dimulai lewat peer-nya, baik mereka yang menjalani perkawinan dini maupun yang tidak. Membangun kepedulian remaja terhadap isu perkawinan dini juga diharapkan dapat mendorong remaja untuk aktif terlibat, bukan hanya dalam kampanye menurunkan angka perkawinan usia dini, tetapi juga membangun empati dan menghapus stigma negatif bagi rekan-rekan mereka yang terpaksa harus menjalaninya.

   

[1] Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kelahiran untuk kelompik umur 15-19 tahun menurun dari 62 kelahiran per 1000 perempuan di tahun 1997 menjadi 36 kelahiran per 1000 perempuan di tahun 2017.  

[2] Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, “Situasi balita Pendek (Stunting) di Indonesia” dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Semester I, Oktober 2018, hal.4.  

[3] Dwi Agista Larasati, Triska Susila Nindya, Yuni Sufyanti Arie, “Hubungan antara Kehamilan Remaja dan Riwayat Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pujon Kabupaten Malang”, Amerta Nutr (2018) 392-401. Tiga studi cross-sectional di Indonesia juga menujukkan bahwa anak yang lahir dari perempuan dengan usia di bawah 24 tahun memiliki peluang stunting antara 1,09 hingga 1,23 kali lebih besar dari mereka yang melahirkan di usia 33 tahun atau lebih. Sumber: Ty Beal Alison Tumilowicz Aang Sutrisna, Lynnette M. Neufeld, A review of child stunting determinants in IndonesiaMaternal and Child Nutrition, Vol. 14 Issue 4, October 2018

[4] Bernard Ineichen, Mary Pierce, Ross Lawrenson, Teenage Mothers as Breastfeeders: Attitudes and Behaviour,  Journal of Adolescence Volume 20, Issue 5, October 1997, Pages 505-509  

[5] Bolling K, Grant C, Hamlyn B, Thornton A. Infant Feeding Survey 2005. London: The Stationery Office, 2007.  

[6] Dyson L, Green J, Renfrew M, McMillan B, Woolridge M. Factors Influencing the Infant Feeding Decision for Socio-Economically Deprived Pregnant Teenagers: The Moral Dimesions. Birth 37(2): 141-9, 2010  

[7] L Condona, C Rhodesb, S Warrenb, J Withallc and A Tappb. But is it a normal thing?’ Teenage mothers’ experiences of breastfeeding promotion and support.  Health Education Journal 72(2) 156–162, 2012  

[8] Lori Feldman-Winter, MD, MPH. Building Resiliency in Teen Moms Can Improve Breastfeeding and Save Babies. Dalam   https://www.nichq.org/insight/building-resiliency-teen-moms-can-improve-breastfeeding-and-save-babies, diakses 15 Juli 2019.

[9] Paige Hall Smith, Sheryl L Coley, [...], and Eva Nwokah, Early breastfeeding experiences of adolescent mothers: a qualitative prospective study, Int Breastfeed J. 2012; 7: 13. Published online 29 September 2012.

[10] Pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pengecualian untuk menikah bagi perempuan berusia 16 hingga 21 tahun, serta laki-laki berusia 19 hingga 21 tahun, dengan syarat mendapatkan izin dari orang tua.


Terdapat pada kategori Artikel pada 03 Aug 2019

Informasi Lainnya

Yuk, Berpartisipasi Dukung AIMI

AIMI 15th SEHATI Virtual Run & Ride

MengASIhi x COVID-19