Penulis: Ernest Prakasa - Ayah ASIĀ
Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa laki-laki dan perempuan punya tugas yang berbeda. Ayah kerja, cari uang. Ibu mengurus anak. Dan dikotomi job description inilah yang membuat laki-laki, pada saat menjelang dan baru saja memiliki bayi, tidak sadar bahwa mereka seharusnya peduli.
Saya ulangi: laki-laki bukan tidak peduli, melainkan tidak sadar bahwa mereka seharusnya peduli.
Bila kita menggunakan istilah "tidak peduli", maka pengertiannya adalah mereka sudah mengetahui, tapi memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. That's not the case. Masalahnya adalah, sebagian besar bahkan tidak menyadari sama sekali "kenapa mereka harus melakukan sesuatu". Apalagi hingga ke tahap "apa yang harus dilakukan".
Menurut norma awam, mengurus bayi memang pada dasarnya adalah bukan domain utama ayah. Kalo mau dirunut, yang paling berwenang adalah: ibu si bayi; lalu dilanjutkan oleh ibu dari ibu si bayi. Dengan demikian, cukup bisa dimaklumi apabila banyak ayah yang "mundur" dan menurut saja. Ini bukan sebuah ketidakpedulian, melainkan lebih kepada "udahlah daripada malah nambah ribet". Ingin yang praktis.
Tingkat keterlibatan yang casual inilah yang membuat laki-laki kehilangan rasa kritisnya. "Susu formula? Kayaknya semua orang juga ngasih, harusnya sih gapapa ya?", begitu mungkin pemikiran mereka. Belum lagi bombardir iklan, terutama di televisi, yang menendang ASI dari posisi "top of mind" kala orang mengingat soal susu bayi.
Jadi, bila berbicara tentang keterlibatan ayah dalam pemberian ASI, langkah awal tetap harus dimulai dari ibu. Oleh karena itu, berikut beberapa alasan yang bisa dikemukakan oleh ibu untuk meyakinkan ayah agar mendukung pemberian ASI:
Tidak dapat dipungkiri, kesuksesan pemberian ASI lahir berkat kerjasama yang solid antara ibu dan ayah. Sayangnya, seperti pemaparan diatas, banyak ayah yg belum sadar ASI. Melalui tiga poin diatas, semoga ibu dapat membukakan pandangan ayah agar dapat menjadi partner ASI yang ideal. Goodluck!
Terdapat pada kategori Informasi pada 06 Aug 2011